Pagi-pagi saya terbangun dan terpanggil setelah membaca pesan singkat dari yayan, teman saya yang juga ketua umum teater lingkar fakultas. Mengingatkan saya untuk segera datang ke diklat alam di coban jahe, sekitar 30 km dari tempat saya tinggal. Setelah membereskan diri dan mengumpulkan nyawa, saya berangkat dengan membawa serta celana ganti dan sandal jepit untuk disana. Setelah sempat singgah sebentar untuk mengisi bensin di daerah rampal saya melanjutkan perjalanan yang saya tempuh tanpa teman bicara alias sendirian. Hanya mengguman dan berdendang kecil yang bisa saya lakukan di perjalanan agar tidak lagi merasa ngantuk dan terlalu berlebihan merasakan kaki yang kram efek dari olahraga kemarin hari. Sudah hampir satu jam perjalanan saya mendapatkan pesan singkat yang lagi-lagi dari Yayan Surayan yang memberi petunjuk dimana tepatnya lokasi diklat. Rupanya saya sudah sempat mengenal area tersebut setelah beberapa bulan lalu saya dua kali datang kesitu untuk sekedar membaca di sebuah perpustakaan yang luar biasa. Setelah sempat beberapa kali salah jalan hingga ke pelosok-pelosok dan bertemu dengan jalan berbatu akhirnya saya bisa menemukan jalur yang tepat menuju area coban.
Jalan yang saya tempuh awalnya biasa-biasa saja, mungkin hanya jalan berbatu yang hampir membuat saya merasa seperti naik unta di kebun binatang. Dan akhirnya saya berhasil menemukan belokan terakhir menuju coban setelah sebelumnya bertanya pada seorang bapak tua penjual pisang. Mulai dari sini, mungkin saya patut berucap syukur pada Tuhan.
Saya mulai memasuki jalan yang saya rasa tidak pantas dimasuki oleh kendaraan bermotor terlebih lagi ketika musim penghujan datang. Beberapa kali roda motor yang saya kendarai selip akibat tumpukan lumpur yang menyelimuti roda belakang. Setelah berusaha selihai atau lebih tepatnya sok lihai dalam mengendarai motor akhirnya saya terjungkal juga pada satu titik yang menanjak, berbatu dan berlumpur. Pada titik setelah saya melewati Taman Makan Pahlawan Kali Jahe di kanan jalan, saya terjerembab hampir masuk ke lahan yang berada di bawah. Untungnya ada seorang wanita berkacamata yang sedang menunggu suaminya mencari bambu yang menolong saya dan menceramahi saya bahwa jalur di depan tidak mungkin bisa dilewati karena licin. Akhirnya dengan motor, sepatu, celana dan hoodie yang belepotan lumpur saya diam sejenak disana sembari membersihkan diri dengan daun-daun yang gugur, dengan seadanya. Kemudian saya berusaha mengirim pesan singkat pada Surayan dan ternyata daerah tersebut sempat tidak terjangkau oleh sinyal. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya saya memutuskan untuk kembali pulang ( suatu hal yang bodoh sekali ) karena hasrat untuk pijat sangatlah tinggi setelah badan ini tertimpa motor dan tangan ini salah dalam menumpu ketika jatuh. Akhirnya saya benar-benar pulang kembali ke rumah tanpa berhasil menemukan lokasi coban jahe yang sebenarnya, menemukan teman-teman saya yang pasti sedikit kesal dengan saya. Dan lagi-lagi, setelah melewati area TMP saya kembali terjungkal dan kembali bertemu akrab dengan lumpur-lumpur disana.
Begitulah perjalanan bodoh yang saya lakukan, tanpa berhasil menemukan tujuan. Tapi untungnya saya berhasil menyadari bahwa dalam setiap kebodohan pun kita akan menemukan sesuatu untuk dicermati. Banyak hal yang seharusnya bisa saya nikmati sepulang dari Tumpang. Hanya untuk sekedar melihat bagaimana senyum ibu-ibu penjual cat di pinggir jalan yang menunggu seseorang membeli cat, bagaimana mencoba merasakan rasa khawatir yang dialami oleh seorang nenek yang duduk di atas kursi roda yang juga sedang diangkut diatas motor bak merk Hercules yang senantiasa menggenggam erat tangan suami disebelahnya, kepolosan anak-anak sekolah dasar di desa yang bersandar pada tiang jembatan menunggu ayahnya datang menjemputnya dengan membawa seikat rumput untuk pakan ternak dan lain sebagainya.
Saya sadar bahwa perjalanan hari ini tidaklah sebodoh yang saya pikir. Terima kasih
Sabtu/ 16 Avril 2011