Senin, 18 April 2011

Hanya sekedar ingatan ada apa hari ini



Pagi-pagi saya terbangun dan terpanggil setelah membaca pesan singkat dari yayan, teman saya yang juga ketua umum teater lingkar fakultas. Mengingatkan saya untuk segera datang ke diklat alam di coban jahe, sekitar 30 km dari tempat saya tinggal. Setelah membereskan diri dan mengumpulkan nyawa, saya berangkat dengan membawa serta celana ganti dan sandal jepit untuk disana. Setelah sempat singgah sebentar untuk mengisi bensin di daerah rampal saya melanjutkan perjalanan yang saya tempuh tanpa teman bicara alias sendirian. Hanya mengguman dan berdendang kecil yang bisa saya lakukan di perjalanan agar tidak lagi merasa ngantuk dan terlalu berlebihan merasakan kaki yang kram efek dari olahraga kemarin hari. Sudah hampir satu jam perjalanan saya mendapatkan pesan singkat yang lagi-lagi dari Yayan Surayan yang memberi petunjuk dimana tepatnya lokasi diklat. Rupanya saya sudah sempat mengenal area tersebut setelah beberapa bulan lalu saya dua kali datang kesitu untuk sekedar membaca di sebuah perpustakaan yang luar biasa. Setelah sempat beberapa kali salah jalan hingga ke pelosok-pelosok dan bertemu dengan jalan berbatu akhirnya saya bisa menemukan jalur yang tepat menuju area coban. 
Jalan yang saya tempuh awalnya biasa-biasa saja, mungkin hanya jalan berbatu yang hampir membuat saya merasa seperti naik unta di kebun binatang. Dan akhirnya saya berhasil menemukan belokan terakhir menuju coban setelah sebelumnya bertanya pada seorang bapak tua penjual pisang. Mulai dari sini, mungkin saya patut berucap syukur pada Tuhan.
Saya mulai memasuki jalan yang saya rasa tidak pantas dimasuki oleh kendaraan bermotor terlebih lagi ketika musim penghujan datang. Beberapa kali roda motor yang saya kendarai selip akibat tumpukan lumpur yang menyelimuti roda  belakang. Setelah berusaha selihai atau lebih tepatnya sok lihai dalam mengendarai motor akhirnya saya terjungkal juga pada satu titik yang menanjak, berbatu dan berlumpur. Pada titik setelah saya melewati Taman Makan Pahlawan Kali Jahe di kanan jalan, saya terjerembab hampir masuk ke lahan yang berada di bawah. Untungnya ada seorang wanita berkacamata yang sedang menunggu suaminya mencari bambu yang menolong saya dan menceramahi saya bahwa jalur di depan tidak mungkin bisa dilewati karena licin. Akhirnya dengan motor, sepatu, celana dan hoodie yang belepotan lumpur saya diam sejenak disana sembari membersihkan diri dengan daun-daun yang gugur, dengan seadanya. Kemudian saya berusaha mengirim pesan singkat pada Surayan dan ternyata daerah tersebut sempat tidak terjangkau oleh sinyal. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya saya memutuskan untuk kembali pulang ( suatu hal yang bodoh sekali ) karena hasrat untuk pijat sangatlah tinggi setelah badan ini tertimpa motor dan tangan ini salah dalam menumpu ketika jatuh. Akhirnya saya benar-benar pulang kembali ke rumah tanpa berhasil menemukan lokasi coban jahe yang sebenarnya, menemukan teman-teman saya yang pasti sedikit kesal dengan saya. Dan lagi-lagi, setelah melewati area TMP saya kembali terjungkal dan kembali bertemu akrab dengan lumpur-lumpur disana. 
Begitulah perjalanan bodoh yang saya lakukan, tanpa berhasil menemukan tujuan. Tapi untungnya saya berhasil menyadari bahwa dalam setiap kebodohan pun kita akan menemukan sesuatu untuk dicermati. Banyak hal yang seharusnya bisa saya nikmati sepulang dari Tumpang. Hanya untuk sekedar melihat bagaimana senyum ibu-ibu penjual cat di pinggir jalan yang menunggu seseorang membeli cat, bagaimana mencoba merasakan rasa khawatir yang dialami oleh seorang nenek yang duduk di atas kursi roda yang juga sedang diangkut diatas motor bak merk Hercules yang senantiasa menggenggam erat tangan suami disebelahnya, kepolosan anak-anak sekolah dasar di desa yang bersandar pada tiang jembatan menunggu ayahnya datang menjemputnya dengan membawa seikat rumput untuk pakan ternak dan lain sebagainya. 
Saya sadar bahwa perjalanan hari ini tidaklah sebodoh yang saya pikir. Terima kasih
Sabtu/ 16 Avril 2011 

Dilema Delima Dua

 Sudah lama semenjak terakhir kali kami berada disana, menghabiskan sore dengan mengobrol dan berbincang. Hingga petang dan malam menjelang tak terasa, berhasil menggerakkan seorang hansip tua untuk mengingatkan kami. Tentang cita rasa ale-ale rasa jeruk yang selalu menjadi menu utama disamping teh kotak dan sekotak susu ultra, disambut senyum pak rt dan kadang istrinya. Canda tukang mie yang ternyata beristri dua, selalu menjadi penanda bahwa sore mulai karam di tepi barat. Waktu bagi penjual tahu telor untuk memanjakan perut kami yang terkadang terlalu lapar dan garang. Sekali ketika ingin melaksanakan sholat, kantor Mas Solikin kadang cukup memungkinkan untuk dipakai beribadah. Dan sesekali Mas Yunus menyapa dengan senyum khasnya, bukan senyum angkuh tapi senyum akrab, yang membantu kami untuk bertahan sekali lagi disana. Jika saja hujan turun tiba-tiba tanpa permisi, warung Pak Di selalu sedia untuk kami semua menyelamatkan papan beroda yang bagi kami sebenarnya adalah teman, bukan alat atau penopang gaya semata. Baju boleh saja basah tapi papan harus tetap kering. Jikalau rasa lapar datang terlalu dini di awal sore, bakso 747 selalu menjadi idaman dengan kuahnya yang berbeda. Dan kadang seorang wanita muda yang masih gigih dan bersemangat menjual kue keliling menawari kami, setiap hari. Tanpa lelah tanpa canggung, berharap kami sekali waktu saja membeli kue penopang hidupnya. Ketika malam mulai larut, teriakan tukang sate mulai meraja. Seorang anak muda yang mendorong gerobak sate, diikuti sang ayah dibelakang yang rupanya mendidik anaknya untuk meneruskan mata pencaharian andalan keluarganya itu. Sembari itu kami bergegas, mengembalikan sepi pada tempatnya. Meninggalkan DELIMA dan berharap hujan enggan datang keesokan harinya.

Minggu, 03 April 2011

Don Juan

Waktu kecil dulu saya pernah sedikit bingung jika ditanya oleh bapak atau ibu Guru tentang apa cita-cita saya. Teman-teman yang lain ada yang menjawab ingin menjadi guru, dokter, tentara dan lain-lain. Saya baru menemukan jawaban untuk pertanyaan 17 tahun lalu itu sekarang. Saya sudah memutuskan ingin jadi penulis, entah menulis apapun itu karena saya baru sadar Tuhan memberikan sebuah anugerah yang sangat langka yaitu sisi Don Juan yang menghuni diri saya yang sawo matang ini. 
Don Juan adalah sebuah istilah yang ditemukan oleh teman-teman saya yang saya juga baru menyadari kalau selama ini saya mempunyai sifat itu. Artinya saya kurang begitu tahu tapi kalau boleh mengartikannya, Don itu dari bahasa Spanyol yang artinya sebuah gelar untuk orang-orang yang berpengaruh. Juan, mungkin hanya sebuah nama biasa asal Spanyol yang pada waktu dulu itu pernah menghebohkan masyarakat disekitarnya dengan sifat-sifat yang ia punya. Don Juan sama halnya dengan Cassanova yang dalam hidupnya selalu diisi dengan wanita-wanita.
Apa hubungannya Saya,jadi Penulis dan Don Juan kalau begitu?
Saya mendadak dikenal dengan julukan seperti itu alasannya adalah karena bla bla bla bla bla ( mungkin orang-orang di sekitar saya sudah tahu kenapa :). Terima kasih atas julukan yang diberikan pada saya, karena dengan begitu menunjukkan anda-anda semua sayang pada saya ini. Selalu saja ada dua hal yang bertentangan di dunia ini dan Tuhan memang menciptakannya seperti itu. Selalu ada susah senang, pro kontra, diam ramai, hidup mati dan sebagainya. Nah hal-hal seperti itu pula yang secara tidak langsung dibutuhkan oleh orang yang suka menulis, seperti halnya Andrea Hirata yang terjebak dalam dua oposisi tidak mampu dan berkecukupan dan akhirnya dia berhasil menghasilkan karya yang luar biasa ketika dia terjebak dalam satu posisi, ketidakmampuan. Dengan mengumpulkan kepedean saya berpendapat bahwa ketika saya terjebak dalam kedonjuanan itu, saya juga bisa dan mampu menghasilkan sesuatu nantinya yang berhubungan dengan kegiatan tulis menulis. Suatu hasil yang positif dan bukan negatif ( tapi anda boleh berspkeluasi sendiri apakah hal itu, saya suka mengijinkan manusia-manusia lain bebas untuk berpikir, hahaha ). Ada sebuah konsep pemikiran yang pernah saya ciptakan dan sempat saya sampaikan ke Dosen dan beberapa teman ketika kelas sastra berlangsung, pemikiran satu manusia hanya bisa berkenan dan berlaku bagi manusia itu sendiri dan tidak bagi manusia lainnya karena setiap manusia punya pemikiran yang sangat luas. Jadi adalah suatu yang mustahil jika ada pemikiran dua manusia yang benar-benar sejalan. Itulah kenapa selalu saja ada oposisi-oposisi yang tercipta, karena kita masih manusia yang punya pemikiran masing-masing.
Menjadi seperti ini bukan keinginan saya, bukan kehendak Tuhan cuma beberapa pemikiran yang keluar dari batas saja. Menjadi seperti ini juga bukanlah hal yang baik dan membanggakan karena saya sama sekali tidak bangga sedikitpun. Tapi ketika sampai di titik ini kemudian saya tahu bahwa segala yang dimulai juga harus segera dihentikan, seperti nanti saya akan mati karena saya telah berkesempatan untuk hidup.
Saya mencoba untuk menjadi seorang penulis yang baik dan berusaha meninggalkan sifat-sifat yang jelek. Setidaknya saya pernah mendapat banyak pelajaran dari beberapa kegagalan, keegoisan, penilaian-penilaian dan lain lain yang mungkin nanti bisa jadi tulisan saya, atau bahkan menjadi sebuah buku.
Terima kasih kepada semua yang pernah berada di dalam lingkaran hidup saya yang biasa-biasa saja ini, pada teman-teman yang selalu peduli dan sayang pada saya, dan pada setiap kesempatan yang bersedia datang dua kali :).