Senin, 18 April 2011

Dilema Delima Dua

 Sudah lama semenjak terakhir kali kami berada disana, menghabiskan sore dengan mengobrol dan berbincang. Hingga petang dan malam menjelang tak terasa, berhasil menggerakkan seorang hansip tua untuk mengingatkan kami. Tentang cita rasa ale-ale rasa jeruk yang selalu menjadi menu utama disamping teh kotak dan sekotak susu ultra, disambut senyum pak rt dan kadang istrinya. Canda tukang mie yang ternyata beristri dua, selalu menjadi penanda bahwa sore mulai karam di tepi barat. Waktu bagi penjual tahu telor untuk memanjakan perut kami yang terkadang terlalu lapar dan garang. Sekali ketika ingin melaksanakan sholat, kantor Mas Solikin kadang cukup memungkinkan untuk dipakai beribadah. Dan sesekali Mas Yunus menyapa dengan senyum khasnya, bukan senyum angkuh tapi senyum akrab, yang membantu kami untuk bertahan sekali lagi disana. Jika saja hujan turun tiba-tiba tanpa permisi, warung Pak Di selalu sedia untuk kami semua menyelamatkan papan beroda yang bagi kami sebenarnya adalah teman, bukan alat atau penopang gaya semata. Baju boleh saja basah tapi papan harus tetap kering. Jikalau rasa lapar datang terlalu dini di awal sore, bakso 747 selalu menjadi idaman dengan kuahnya yang berbeda. Dan kadang seorang wanita muda yang masih gigih dan bersemangat menjual kue keliling menawari kami, setiap hari. Tanpa lelah tanpa canggung, berharap kami sekali waktu saja membeli kue penopang hidupnya. Ketika malam mulai larut, teriakan tukang sate mulai meraja. Seorang anak muda yang mendorong gerobak sate, diikuti sang ayah dibelakang yang rupanya mendidik anaknya untuk meneruskan mata pencaharian andalan keluarganya itu. Sembari itu kami bergegas, mengembalikan sepi pada tempatnya. Meninggalkan DELIMA dan berharap hujan enggan datang keesokan harinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar