Kamis, 12 September 2013

Mara Senja Delima

Seketika itu jelma jelma berhamburan
Ditiup rindu yang memporak poranda
Masing-masing sudah jauh berkelana
Mata mereka kosong, senyum terkembang
Kepada merah senja
Kembali ke sedia kala

Penuh makna

Minggu, 16 September 2012

Acak


Tepat 29 Mai Dini Hari
Saya masih belum bosan berada di depan layar ajaib ini, mencoba untuk melakukan apa saja yang memungkinkan. Mencoba untuk menulis sesuatu disini, berharap segera timbul rasa kantuk yang kemudian membuat saya bisa tidur dengan pulas. Daftar playlist lagu juga sengaja berisi lagu-lagu akustik yang sangat cocok sebagai pengantar tidur, tapi rasa kantuk tak kunjung datang. Ya sudahlah, masa iya malam-malam begini mau mengeluh. Tidak elok rasanya.
Baiklah saya akan menulis semua yang ada di pikiran saya sekarang.
Melukis senja ketika kita masih menjadi manusia kala itu. Rumput-rumput hijau. Kolam ikan. Sepasang ayunan yang kosong. 
Orang-orang banyak cakap. Banyak mengeluh tentang diri mereka sendiri. Mencari guncangan. Menyalahkan orang lain. Seharusnya mereka bercermin.
Perjalanan. Imajinasi dan halusinasi. Debu. Perasaan yang tidak dapat aku ucapkan. Lalu lalang dan menunggu. Hitam. Kaca besar yang memantulkan senyuman. Langkah yang harus dibenci. Transisi gelap. Perpisahan.
Banyak hal harus diucapkan. Waktu. Tumbuhlah selayaknya manusia. Kita bukanlah siapa-siapa. Muda. Remaja. Dewasa. Tua. Mati dan secepatnya dilupakan atau dikenang.
Kacamata berdebu. Pikiran berkelana. Tidak lagi terarah. Mimpi,Imajinasi,Halusinasi dan harapan yang akan terwujud. Bebas. Terasing. Sungai dalam segala khayalan. Bangku bangku taman. Berbagai musim tersaji. Terbenam sesuai takdirnya.
Akhirnya.

Apalah


Selamat malam yang sudah terlalu pagi.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya terbangun dini hari seperti ini, mencoba mengasah pikiran agar selalu produktif menyusun kata-kata baik lewat layar ajaib seperti ini ataupun lewat buku dan tinta. Entah bagaimana bisa hal seperti ini saya lakukan lagi, mungkin berkat panggilan telepon yang masuk beberapa jam lalu yang mengawali semua. Sebenarnya sampai disini saya sudah merasa hilang arah, apa yang akan saya tulis dan kembangkan, apakah tulisan-tulisan saya nantinya bisa diterima oleh pembaca dan banyak sekali keraguan yang sering hadir di kepala saya. Biar saja sudah, saya tak mau ambil pusing. Saya hanya ingin melewatkan quality time ini dengan hal yang berguna.
Akhirnya saya mendapatkan ide setelah mendengarkan sebuah lagu barat. Liriknya seperti ini, “We didn’t die, we just never had a time to grow” yang kalau saya artikan ke dalam bahasa Indonesia akan berarti seperti, “Bukan kematian yang kita alami, hanya saja tidak ada lagi kesempatan untuk melangkah lebih jauh”. Mungkin seperti itulah artinya menurut versi saya sendiri, akan tetapi saya tidak akan membahas tentang padanan kata atau relasi antar objek terjemahan dengan hasil terjemahan karena hal itu akan terlalu kompleks untuk diungkap di pagi yang seperti ini. Lagipula saya juga bukan seorang ahli bahasa Inggris.
Ada sesuatu yang menarik di dalam lirik tersebut karena menurut saya lirik tersebut seolah mengajak kita untuk berpikir “baik”, bukan malah menganggap suatu hal harus terlihat “jelek” di mata kita. Kita tahu bahwa setiap orang mungkin mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi soal kematian akan tetapi saya yakin sebagian besar dari kita akan memandang kematian adalah suatu hal yang mengerikan. Kematian selalu menyisakan tangis, duka mendalam dan juga rasa kehilangan yang amat sangat bagi mereka yang pernah merasakannya. Kematianlah yang seolah merampas sebagian kepingan hidup setiap manusia, mendesak segala kenangan dan pada akhirnya kita harus tetap menerimanya dengan berat hati dan dengan lapang dada. Sehingga terlalu banyak kesedihan yang datang, kesedihan yang seharusnya dan juga kesedihan yang tak seharusnya. Saya menyebutnya sebagai kesedihan yang tak seharusnya karena saya percaya dalam setiap frase kehidupan ini segala hal selalu memiliki “porsi” masing masing. Ada saat dimana kita merasa senang, sedih, bingung, marah, dan berbagai perasaan lainnya dan segala macam itu sudah mempunyai porsi masing-masing. Bisa kita bayangkan ketika kita menggunakan “porsi” sedih terlalu banyak sehingga ruang yang tersisia untuk senang ataupun marah menjadi terlalu sempit dan akhirnya tak ada kemampuan untuk merasakan keduanya karena sedih yang tidak seharusnya. Kita hanya perlu membiasakan diri untuk hal itu, untuk tidak selalu berlebihan menggunakan porsi perasaan kita, untuk selalu menegaskan kepada diri kita sendiri bahwa berpikir “baik” itu bisa kita lakukan. 
Jadi, ketika terlalu banyak hal yang kita risaukan untuk terjadi, ketika berbagai ketakutan datang tiba-tiba coba diam sejenak untuk berpikir, pastikan bahwa kita menggunakan porsi yang kita miliki dengan baik. Sekian. (Song: Landon Pigg – Can’t Let Go)

Senin, 23 Januari 2012

Apalagi Yang Baru ?

Berbicara tentang tahun yang baru saja berganti, tidak akan jauh dari hidupnya hitungan baru akan nafas dan matinya cahaya-cahaya yang juga sempat meredup. Akan tetapi semua begitu berlebihan rasanya, terlalu megah juga terlalu mewah.
Sudah menjadi hal yang biasa ketika pada saat-saat pergantian tahun, segala hiruk pikuk masyarakat mulai menggeliat. Mereka berbondong-bondong bergerak menuju pusat keramaian, berharap menemukan kepuasan bagi diri mereka, bagi semua rekan-rekan yang menjadi teman melewatkan malam. Masyarakat desa menyerbu pusat kota, masyarakat kota lebih memilih menikmatinya di tempat-tempat hiburan. Letusan kembang api dimana-mana, status BBM hampir semua bertemakan “New Year’s Eve” dan siaran televisipun juga membawakan tema tahun baru.
            Ada satu hal yang menjadi catatan kecil buat saya, ketika itu saya berada di satu hari terakhir di tahun 2011. Macet dimana-mana, walaupun hujan gerimis tapi tetap tak menghalangi niat masyarakat untuk tetap berada di luar dan menikmati malam pergantian tahun. Begitu juga yang terjadi di pusat-pusat berkumpulnya masyarakat, pasar salah satu contohnya. Segala hingar bingar pergantian tahun membuat aktifitas jual beli di pasar tradisional kembali bangkit. Lampu-lampu neon terang khas pasar malam menghiasi malam terkahir di tahun 2011 itu. Para penjual berjejer di pinggir jalan menjajakan dagangannya, kebanyakan dari mereka menjual jagung manis dan ikan segar, juga durian. Basah tidak menjadi masalah bagi mereka dan bagi para pembeli disana. Harapannya adalah mereka bisa melewatkan malam pergantian tahun dengan berkesan, penuh kehangatan dan kebersamaan. Masyarakat memang menjadi sangat konsumtif dalam beberapa momen-momen tertentu, namun segalanya masih tentang hal-hal materiil. Terlepas dari itu semua, hingar bingar inilah yang kembali membuat pasar tradisional kembali ramai seperti dulu. Mereka mampu memenuhi esensi yang terkesan hilang dari pasar-pasar modern, proses tawar menawar, berdesakan dan saling berkomunikasi satu sama lain. Mencoba mengenal walaupun hanya bertatap muka, berusaha mengingat wajah-wajah yang berpapasan dengan mereka. Masyarakat selalu kembali pada tradisi lama, meski tahun yang dilewati selalu saja baru.
            Tahun baru, semua orang pasti telah merencanakan hidupnya dengan sangat baik. Merancangnya menjadi beberapa urutan, ada yang menjadi prioritas ada juga yang tidak. Semoga tahun ini semua berjalan sesuai dengan jalurnya, bagi kita semua. Tidak lagi terlalu konsumtif dan juga tidak terlalu pesimis. Jadi, masih banyak hal baru yang menunggu. Semoga tercapai.

Sabtu, 10 Desember 2011

Tentang sebuah jeda

Tentang sebuah jeda
            Jeda, sesuatu yang timbul dengan sendirinya tanpa kita sengaja memicu atau melahirkannya. Ketika kita sudah jauh melangkah dari angka satu dan akhirnya sampai ke angka lima atau bahkan sepuluh, dan baris angka yang tidak tersebut itulah yang bisa kita sebut sebagai jeda. Jeda bukanlah suatu hal yang berjalan terlalu cepat, tak juga terlalu singkat. Melangkah dari satu titik ke titik lainnya, merupakan sebuah proses dan kita (yang terdiri dari raga dan ruh ini) melaluinya, kita semua tanpa terkecuali.
            Proses, seperti halnya baris-baris huruf, kata dan kalimat yang diproses menjadi sebuah atau beberapa paragraf. Waktu dan segala jengah hangus didalamnya, juga segala suka maupun duka. Kita semua berproses.
            Aku, jeda dan proses. Aku lebih tepat menyebutku sebagai saya, agar tidak terlihat terlalu angkuh. Saya, jeda dan proses. Ketiga hal tersebut terjadi dan saling melengkapi satu sama lainnya. Tak nampak ganjil ataupun janggal, karena saya berusaha senormal mungkin saat ini layaknya manusia.
            Saya buat singkat saja. Sudah hampir lima bulan sejak tulisan terakhir saya di blog, di sebuah jagat dunia maya. Berbicara tentang dunia maya, saya mulai sedikit menguranginya dengan sebuah alasan yang masuk akal (menurut saya pribadi). Terlebih dulu, ijinkan saya berpendapat soal tulisan dan juga blog ini. Saya suka kebebasan meskipun sebenarnya kebebasan itu adalah sebuah beban. Saya tidak sepenuhnya menggunakan nafsu ketika merasakan bagaimana menjadi manusia bebas itu akan tetapi tetap mencoba menciptakan sebuah keharmonisan antara pikiran, akal, kesadaran sebagai manusia. Jadi semua terpilah sama rata, tidak ada yang timpang atau tak seimbang. Saya menulis juga bukan karena tuntutan, juga bukan atas dasar pekerjaan bahkan paksaan dari orang lain. Saya hanya laki-laki yang masih belum tahu apa ada cara lain untuk memberdayakan diri selain dengan menulis, manusiawi sekali bukan?.
            Tentang dunia maya, saya memang sedang menguranginya dalam beberapa porsi tertentu. Segala jejaring sosial tidak lagi saya ikuti, hibernasi entah sampai kapan saya belum merencanakan untuk kembali berhingar bingar dengannya. Alasannya cukup sederhana, karena menurut saya sudah terlalu banyak celah-celah kehidupan yang terusik, yang bahkan kadang dengan sengaja kita membuka ruang diri lebar-lebar tanpa sadar bahwa positif akan selalu diikuti dengan negatif. Terlepas dari hal tersebut, saya lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan membaca. Seorang dosen pernah berkata pada saya ketika kelas sedang berlangsung, beliau berkata bahwa sangat normal sekali jika anak muda seperti kalian (saya dan teman-teman saya) keranjingan (ekspresi dari bahasa jawa yang berarti ketagihan) membaca buku. Saya sependapat dengan beliau, beberapa teman lain juga seperti itu.
            Terkadang kita harus dihadapakan pada beberapa pilihan yang sulit untuk dipilih, segala sesuatu juga pasti mempunyai resiko. Jeda ini membuat saya paham bahwa apa yang baik untuk hidup saya, saya sendiri yang menentukan. Menjadi sedikit berbeda tak akan mengurangi nilai saya sebagai manusia di hadapan Tuhan. Proses yang tengah saya jalani ini sedikit banyak sudah memberi beberapa hal luar biasa dalam hidup, belajar sejarah, belajar agama, belajar pemikiran, belajar budaya, dan segala proses belajar yang saya lakukan masih akan terus berlanjut hingga nanti dicabutnya nafas dari raga, meninggalkan fana menuju kekal. Segala tulisan ini akhirnya juga hanya akan jadi penghias dan bukti bahwa saya pernah berada dalam satu titik yang sungguh luar biasa. Selamat membaca.

                                                                                                                        AV

Kuliah

Sebuah catatan perjalanan                                                                   Desember 2011

            Ketika kita sedang diam sementara segala sesuatunya berlalu dengan sangat cepat.
            Perasaan seperti itulah yang sepertinya sedang melanda beberapa teman sekelas saya dan juga saya dalam menghadapai berbagai tuntutan akademis. Tentang skripsi, tugas-tugas penghujung semester dan juga beberapa laporan yang harus segera diselesaikan. Sepertinya baru kemarin angka tigapuluh berganti dengan angka satu, tapi ternyata sudah hampir memasuki minggu kedua ujung bulan. Sebentar lagi tujuh akan beralih menjadi delapan, di suatu frase dimana saya harus segera menyudahinya, menyelesaikannya dengan indah agar bisa membawa kebanggaan kepada kedua orang tua.
            Sudah hampir tiga tahun saya menyandang sebutan mahasiswa di sebuah universitas di kota Malang, berjuang untuk memahami budaya dan bahasa orang lain setiap harinya. Namun sungguh bukan karena saya tidak bangga dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa. Kebanggaan tersebut masih tetap ada walau bagaimanapun kondisi Negara ini. Saya menempuh studi dengan belajar bahasa dan sastra Prancis. Saya akhirnya berhasil mengenal ilmu yang sungguh baru dalam otak ini, saya mengenal pemikir-pemikir yang tersohor seantero dunia, saya belajar bagaimana sebuah people power bisa merubah sejarah suatu Negara, saya mulai memperluas area ketertarikan saya pada beberapa hal. Ini semua bukan sepenuhnya tentang modernitas jaman dan juga dalam rangka eksistensi diri saya, tapi juga tentang kenyamanan yang sedang saya cari. Saya nyaman berada di tahap ini.
            Efek, suatu yang timbul akibat dari peran beberapa hal yang terjadi atau dilakukan sebelumnya. Mempelajari bahasa Prancis memberikan saya banyak sekali efek yang langsung berusaha menyatu dengan jalur hidup. Saya sadar bahwa harusnya ada keseimbangan antara bahasa asing dan juga bahasa asli saya, Indonesia dan Jawa. Oleh karena itu saya mulai memperbaiki diri, mencoba memahami lebih baik apa yang sudah seharusnya saya mengerti. Di sisi lain, nampaknya godaan untuk mempelajari bahasa asing lain juga tak bisa terbendung, bahasa Rusia tiba-tiba datang begitu saja dalam kepala dan meski harus berusaha menghafal Cyrillic (Alfabet Rusia) dengan susah payah, toh saya juga tetap berusaha menghafalnya, dengan terbata-bata. Belajar bahasa membuat saya juga tergerak untuk mempelajari sejarah dunia, segala sejarah mulai dari peradaban Aztec, Yunani kuno dan juga sejarah beberapa orang-orang yang menurut saya hebat. Leonardo Da Vinci, seorang seniman Italia yang berhasil menggegerkan dunia hanya lewat karya-karyanya yang berupa lukisan. Tan Malaka, seorang pahlawan yang harus terlupakan oleh sejarah bangsanya sendiri. Masih banyak juga lainnya seperti Sitor Situmorang, Victor Hugo, Goenawan Muhammad, Ajahn Sumedho dan lainnya.
            Waktu berlalu dengan sangat cepat tapi saya harus tetap bertanggung jawab atas kuliah saya, atas kepercayaan yang diberikan oleh orang tua agar mereka tidak merasa kecewa. Diam, berpikir dan produktif.  

            

Bla bla bla

Sebuah catatan perjalanan                                                                   (04 Mars 2011)

            Manusia manusia terjajah. Terampas nafas dan bebasnya sampai rela tertindas. Tragis? Tapi toh hidup hanya soal menunggu mati, menunggu malaikat maut datang entah malam atau siang, ketika sedang sholat atau tidur. Waktu bisa saja menjadi terlalu cepat dan terlambat, tapi hidup juga tentang sebuah arti yang kadang terlalu menuntut. Tanpa sedikitpun meragukan ke-esa-an Tuhan, aku bertanya apakah manusia harus terus bergantung pada takdir yang dibuat-Nya? Seolah olah takdir yang diberikannya akan selalu membawa akhir bahagia.
            Aku tak pernah sekalipun ragu akan keberadaanNya, aku seorang muslim dan sedang mencoba menjadi manusia yang berguna, selalu ingat menjalankan sholat lima waktu. Justru dari situ timbul pemikiran semacam ini. Aku setuju dengan ajaran Islam bahwa Tuhan mempunyai jalan sendiri untuk dianugerahkan kepada tiap-tiap makhluknya, tapi yang aku temui sekarang beberapa orang telah membuat penafsiran yang tergeser dari jalur yang seharusnya tentang takdir, tentang hidup dan juga kebesaran Tuhan.
            Ada sebagian orang-orang yang aku temui akhir-akhir ini terlalu mengagungkan akhir bahagia dalam takdirnya. Apakah mereka lupa bahwa dalam kehidupan kita harus terus berjuang dan bukan berarti menyerahkan semua pada suratan takdir. Akhirnya berkat segala kepatuhan yang tidak pada tempatnya mereka jadi membunuh hati mereka sendiri dan membiaskan semangat untuk menjalani hidup yang penuh perjuangan. Tanpa sadar, seolah udara yang disekelilingnya menjadi musuh, mencekik leher-leher mereka yang kecoklatan dari dalam. Kembali terkurung dalam era penjajahan mereka sendiri, penjajahan atas kesadaran mereka hingga tertindas serta terhempas dari kelayakan hidup dan meranggas.