Sebuah catatan perjalanan (04 Mars 2011)
Manusia manusia terjajah. Terampas nafas dan bebasnya sampai rela tertindas. Tragis? Tapi toh hidup hanya soal menunggu mati, menunggu malaikat maut datang entah malam atau siang, ketika sedang sholat atau tidur. Waktu bisa saja menjadi terlalu cepat dan terlambat, tapi hidup juga tentang sebuah arti yang kadang terlalu menuntut. Tanpa sedikitpun meragukan ke-esa-an Tuhan, aku bertanya apakah manusia harus terus bergantung pada takdir yang dibuat-Nya? Seolah olah takdir yang diberikannya akan selalu membawa akhir bahagia.
Aku tak pernah sekalipun ragu akan keberadaanNya, aku seorang muslim dan sedang mencoba menjadi manusia yang berguna, selalu ingat menjalankan sholat lima waktu. Justru dari situ timbul pemikiran semacam ini. Aku setuju dengan ajaran Islam bahwa Tuhan mempunyai jalan sendiri untuk dianugerahkan kepada tiap-tiap makhluknya, tapi yang aku temui sekarang beberapa orang telah membuat penafsiran yang tergeser dari jalur yang seharusnya tentang takdir, tentang hidup dan juga kebesaran Tuhan.
Ada sebagian orang-orang yang aku temui akhir-akhir ini terlalu mengagungkan akhir bahagia dalam takdirnya. Apakah mereka lupa bahwa dalam kehidupan kita harus terus berjuang dan bukan berarti menyerahkan semua pada suratan takdir. Akhirnya berkat segala kepatuhan yang tidak pada tempatnya mereka jadi membunuh hati mereka sendiri dan membiaskan semangat untuk menjalani hidup yang penuh perjuangan. Tanpa sadar, seolah udara yang disekelilingnya menjadi musuh, mencekik leher-leher mereka yang kecoklatan dari dalam. Kembali terkurung dalam era penjajahan mereka sendiri, penjajahan atas kesadaran mereka hingga tertindas serta terhempas dari kelayakan hidup dan meranggas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar