Sebuah catatan perjalanan Oktober 2011
Petualang macam apa saya ini?
Beberapa minggu lalu saya sudah berhasil berkunjung ke Jakarta, selaku ibukota Indonesia dan kali ini kota yang beruntung untuk saya kunjungi adalah Jogjakarta.
Ini bukan merupakan catatan perjalanan harian, hanya saja saya bingung harus melakukan apa di atas kereta yang mengantarkan saya kembali pulang ke Malang.
Dini hari. Teman saya, Duduwi yang duduk tepat di samping saya terlihat tertidur pulas . Saya adalah satu-satunya manusia yang terasing malam itu. Pemandangan gelap makin menambah keuselessan, beruntung masih ada pemutar musik yang saya harap bisa meninabobokan saya. Alex Turner, Bob Dylan, The Morning Benders, Barry Manilow, Arthur Lee hingga Peterpan!!, semua saya dengarkan dan nikmati sendiri. Malang juga masih jauh, belum ada separuh jalan.
Kemon, kemon, kemon ……
Dan akhirnya bertemulah saya dengan pencerahan, dengan hal-hal yang bisa saya tulis sebagai hasil dari pengalaman selama berada di Jogjakarta.
Siang tadi saya sudah bertemu dengan teori subjektivitas, self-identity dan social identity yang disajikan ibu doesn dari salah satu universitas ternama di pulau Jawa. Alhamdulillah, saya mendapat cukup banyak ilmu dari seminar yang diselenggarakan di UNY. Saya juga belajar tentang nilai-nilai yang cukup unik, tentang bapak-bapak perwakilan CCCL Surabaya yang sungguh amat low profile!! ( Sengaja sedikit berlebihan). Tentang ilmu dan tentang hal lainnya.
Hah! Mulai buntu otak ini. Sampai disini.
Oia, tentang kota Jogjakarta. Disana saya bisa bebas menjadi apa yang saya mau tanpa harus merasa ringkuh untuk menjadi jelek, tidak keren atau tidak enak dipandang. Maklum saja, kala itu saya hanya mengenakan kaos oblong yang dibeli dari malioboro, celana pendek yang sobek semua sakunya dan juga sepatu hitam polos tanpa kaos kaki. Sebenarnya saya ingin berdandan seperti backpacker atau semacam turis lokal lah (karena mustahil jika aku ingin menjadi turis manca, karena wajah saya sangat tidak memadai) tapi yang ada malah dibilang gembel dan bocah petualang. Namun, bagi saya hal seperti itu tidaklah menjadi masalah, toh hanya penilaian orang lain yang sudah pasti tidak akan sama satu dan lainnya. Stay cool.
Saya sudah membeli tiga kaos oblong untuk saya sendiri, dua batik untuk adik dan ibu dirumah serta satu kemeja batik untuk ayah. Rencananya ketiga kaos oblong tersebut akan saya pakai kuliah setiap hari, jadi begini rumusnya : 6 Hari kuliah dibagi 3 kaos oblong = Tiap 2 hari sekali saya baru berganti baju. Terdengar konyol kah ? Saya rasa tidak juga.
Menurut saya hal seperti itu malah mengasyikkan. Saya bisa merasa nyaman dengan kondisi seperti itu, lagipula apalah arti penampilan luar kan lebih penting apa yang ada di dalam (hati terutama). Akan lebih baik lagi jika bisa seimbang antara keduanya sih.
Kesimpulannya, di kota Jogja saya berhasil memahami (meski belum banyak) bagaimana cara memandang identitas, subjektivitas, social identity dan setelah itu saya berhasil merealisasikan apa yang ingin saya lakukan, menjadi biasa, apa adanya dan tetap fokus dengan cita-cita.
Sudah. Akhirnya benar-benar buntu juga otakku malam ini, di atas kereta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar