Minggu, 16 September 2012

Acak


Tepat 29 Mai Dini Hari
Saya masih belum bosan berada di depan layar ajaib ini, mencoba untuk melakukan apa saja yang memungkinkan. Mencoba untuk menulis sesuatu disini, berharap segera timbul rasa kantuk yang kemudian membuat saya bisa tidur dengan pulas. Daftar playlist lagu juga sengaja berisi lagu-lagu akustik yang sangat cocok sebagai pengantar tidur, tapi rasa kantuk tak kunjung datang. Ya sudahlah, masa iya malam-malam begini mau mengeluh. Tidak elok rasanya.
Baiklah saya akan menulis semua yang ada di pikiran saya sekarang.
Melukis senja ketika kita masih menjadi manusia kala itu. Rumput-rumput hijau. Kolam ikan. Sepasang ayunan yang kosong. 
Orang-orang banyak cakap. Banyak mengeluh tentang diri mereka sendiri. Mencari guncangan. Menyalahkan orang lain. Seharusnya mereka bercermin.
Perjalanan. Imajinasi dan halusinasi. Debu. Perasaan yang tidak dapat aku ucapkan. Lalu lalang dan menunggu. Hitam. Kaca besar yang memantulkan senyuman. Langkah yang harus dibenci. Transisi gelap. Perpisahan.
Banyak hal harus diucapkan. Waktu. Tumbuhlah selayaknya manusia. Kita bukanlah siapa-siapa. Muda. Remaja. Dewasa. Tua. Mati dan secepatnya dilupakan atau dikenang.
Kacamata berdebu. Pikiran berkelana. Tidak lagi terarah. Mimpi,Imajinasi,Halusinasi dan harapan yang akan terwujud. Bebas. Terasing. Sungai dalam segala khayalan. Bangku bangku taman. Berbagai musim tersaji. Terbenam sesuai takdirnya.
Akhirnya.

Apalah


Selamat malam yang sudah terlalu pagi.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya terbangun dini hari seperti ini, mencoba mengasah pikiran agar selalu produktif menyusun kata-kata baik lewat layar ajaib seperti ini ataupun lewat buku dan tinta. Entah bagaimana bisa hal seperti ini saya lakukan lagi, mungkin berkat panggilan telepon yang masuk beberapa jam lalu yang mengawali semua. Sebenarnya sampai disini saya sudah merasa hilang arah, apa yang akan saya tulis dan kembangkan, apakah tulisan-tulisan saya nantinya bisa diterima oleh pembaca dan banyak sekali keraguan yang sering hadir di kepala saya. Biar saja sudah, saya tak mau ambil pusing. Saya hanya ingin melewatkan quality time ini dengan hal yang berguna.
Akhirnya saya mendapatkan ide setelah mendengarkan sebuah lagu barat. Liriknya seperti ini, “We didn’t die, we just never had a time to grow” yang kalau saya artikan ke dalam bahasa Indonesia akan berarti seperti, “Bukan kematian yang kita alami, hanya saja tidak ada lagi kesempatan untuk melangkah lebih jauh”. Mungkin seperti itulah artinya menurut versi saya sendiri, akan tetapi saya tidak akan membahas tentang padanan kata atau relasi antar objek terjemahan dengan hasil terjemahan karena hal itu akan terlalu kompleks untuk diungkap di pagi yang seperti ini. Lagipula saya juga bukan seorang ahli bahasa Inggris.
Ada sesuatu yang menarik di dalam lirik tersebut karena menurut saya lirik tersebut seolah mengajak kita untuk berpikir “baik”, bukan malah menganggap suatu hal harus terlihat “jelek” di mata kita. Kita tahu bahwa setiap orang mungkin mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi soal kematian akan tetapi saya yakin sebagian besar dari kita akan memandang kematian adalah suatu hal yang mengerikan. Kematian selalu menyisakan tangis, duka mendalam dan juga rasa kehilangan yang amat sangat bagi mereka yang pernah merasakannya. Kematianlah yang seolah merampas sebagian kepingan hidup setiap manusia, mendesak segala kenangan dan pada akhirnya kita harus tetap menerimanya dengan berat hati dan dengan lapang dada. Sehingga terlalu banyak kesedihan yang datang, kesedihan yang seharusnya dan juga kesedihan yang tak seharusnya. Saya menyebutnya sebagai kesedihan yang tak seharusnya karena saya percaya dalam setiap frase kehidupan ini segala hal selalu memiliki “porsi” masing masing. Ada saat dimana kita merasa senang, sedih, bingung, marah, dan berbagai perasaan lainnya dan segala macam itu sudah mempunyai porsi masing-masing. Bisa kita bayangkan ketika kita menggunakan “porsi” sedih terlalu banyak sehingga ruang yang tersisia untuk senang ataupun marah menjadi terlalu sempit dan akhirnya tak ada kemampuan untuk merasakan keduanya karena sedih yang tidak seharusnya. Kita hanya perlu membiasakan diri untuk hal itu, untuk tidak selalu berlebihan menggunakan porsi perasaan kita, untuk selalu menegaskan kepada diri kita sendiri bahwa berpikir “baik” itu bisa kita lakukan. 
Jadi, ketika terlalu banyak hal yang kita risaukan untuk terjadi, ketika berbagai ketakutan datang tiba-tiba coba diam sejenak untuk berpikir, pastikan bahwa kita menggunakan porsi yang kita miliki dengan baik. Sekian. (Song: Landon Pigg – Can’t Let Go)

Senin, 23 Januari 2012

Apalagi Yang Baru ?

Berbicara tentang tahun yang baru saja berganti, tidak akan jauh dari hidupnya hitungan baru akan nafas dan matinya cahaya-cahaya yang juga sempat meredup. Akan tetapi semua begitu berlebihan rasanya, terlalu megah juga terlalu mewah.
Sudah menjadi hal yang biasa ketika pada saat-saat pergantian tahun, segala hiruk pikuk masyarakat mulai menggeliat. Mereka berbondong-bondong bergerak menuju pusat keramaian, berharap menemukan kepuasan bagi diri mereka, bagi semua rekan-rekan yang menjadi teman melewatkan malam. Masyarakat desa menyerbu pusat kota, masyarakat kota lebih memilih menikmatinya di tempat-tempat hiburan. Letusan kembang api dimana-mana, status BBM hampir semua bertemakan “New Year’s Eve” dan siaran televisipun juga membawakan tema tahun baru.
            Ada satu hal yang menjadi catatan kecil buat saya, ketika itu saya berada di satu hari terakhir di tahun 2011. Macet dimana-mana, walaupun hujan gerimis tapi tetap tak menghalangi niat masyarakat untuk tetap berada di luar dan menikmati malam pergantian tahun. Begitu juga yang terjadi di pusat-pusat berkumpulnya masyarakat, pasar salah satu contohnya. Segala hingar bingar pergantian tahun membuat aktifitas jual beli di pasar tradisional kembali bangkit. Lampu-lampu neon terang khas pasar malam menghiasi malam terkahir di tahun 2011 itu. Para penjual berjejer di pinggir jalan menjajakan dagangannya, kebanyakan dari mereka menjual jagung manis dan ikan segar, juga durian. Basah tidak menjadi masalah bagi mereka dan bagi para pembeli disana. Harapannya adalah mereka bisa melewatkan malam pergantian tahun dengan berkesan, penuh kehangatan dan kebersamaan. Masyarakat memang menjadi sangat konsumtif dalam beberapa momen-momen tertentu, namun segalanya masih tentang hal-hal materiil. Terlepas dari itu semua, hingar bingar inilah yang kembali membuat pasar tradisional kembali ramai seperti dulu. Mereka mampu memenuhi esensi yang terkesan hilang dari pasar-pasar modern, proses tawar menawar, berdesakan dan saling berkomunikasi satu sama lain. Mencoba mengenal walaupun hanya bertatap muka, berusaha mengingat wajah-wajah yang berpapasan dengan mereka. Masyarakat selalu kembali pada tradisi lama, meski tahun yang dilewati selalu saja baru.
            Tahun baru, semua orang pasti telah merencanakan hidupnya dengan sangat baik. Merancangnya menjadi beberapa urutan, ada yang menjadi prioritas ada juga yang tidak. Semoga tahun ini semua berjalan sesuai dengan jalurnya, bagi kita semua. Tidak lagi terlalu konsumtif dan juga tidak terlalu pesimis. Jadi, masih banyak hal baru yang menunggu. Semoga tercapai.