Seharusnya kita itu berpikir. Berpikir jauh melebihi siapapun. Memikirkan jalan keluar dari segala kemelaratan bangsa, kesengsaraan individu, dan kekacauan yang simpang siur yang enggan beranjak dari tanah air ini. Coba temukan, temukan hitungan yang tepat akan sampai berapa lama penjajahan oleh kaum-kaum atas kepada kaum kelas bawah yang tak lain adalah saudara sebangsanya sendiri. Penjajahan kali ini bukanlah penjajahan yang terbuka, penjajahan yang diketahui oleh dunia-dunia luar sana. Penjajahan yang lebih modern dari sebelumnya, lebih tersusun rapi dan tanpa cacat jika dilihat dari luar. Mereka-mereka it uterus menggerus tak peduli dari dasar atau puncaknya. Seperti rayap yang berbondong-bondong menyerang serat kayu. Hingga tidak lagi menyisakan ruang, memberi tempat pada saudara sebangsa untuk mencicipi angin yang berhembus sepoi di puncak kehidupan. Bahkan dengan tega membiarkan mereka, kaum kelas bawah berputus asa, terlalu pasrah dengan kehidupan. Mereka mulai menggali-gali tanah tempat mereka terhempas dari atas sana. Menggali dengan tangan-tangan kasar mereka, tangan yang sudah terlalu lama mendamba sebungkus roti, semangkuk nasi dan segelas air putih. Tak peduli darah atau nanah mengotori tubuh dan kain lusuh yang mereka pakai. Mereka terus saja menggali berharap menemukan sesuatu untuk mengisi perut kosong mereka. Cacing-cacing tanah atau bahkan tikus got yang sudah menjadi bangkai di kedalamannya. Entah kapan hujan turun untuk pertama kalinya disini. Hujan yang mampu memberi sedikit kesegaran, memberi kehidupan pada sungai-sungai yang mengering, memberi sihir pada tanah gersang dan memberi kehidupan pada jiwa-jiwa yang terlantar, tersingkir di tengah percepatan jaman, tersungkur akibat keegoisan manusia sebayanya.
N.M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar