Sabtu, 10 Desember 2011

Tentang sebuah jeda

Tentang sebuah jeda
            Jeda, sesuatu yang timbul dengan sendirinya tanpa kita sengaja memicu atau melahirkannya. Ketika kita sudah jauh melangkah dari angka satu dan akhirnya sampai ke angka lima atau bahkan sepuluh, dan baris angka yang tidak tersebut itulah yang bisa kita sebut sebagai jeda. Jeda bukanlah suatu hal yang berjalan terlalu cepat, tak juga terlalu singkat. Melangkah dari satu titik ke titik lainnya, merupakan sebuah proses dan kita (yang terdiri dari raga dan ruh ini) melaluinya, kita semua tanpa terkecuali.
            Proses, seperti halnya baris-baris huruf, kata dan kalimat yang diproses menjadi sebuah atau beberapa paragraf. Waktu dan segala jengah hangus didalamnya, juga segala suka maupun duka. Kita semua berproses.
            Aku, jeda dan proses. Aku lebih tepat menyebutku sebagai saya, agar tidak terlihat terlalu angkuh. Saya, jeda dan proses. Ketiga hal tersebut terjadi dan saling melengkapi satu sama lainnya. Tak nampak ganjil ataupun janggal, karena saya berusaha senormal mungkin saat ini layaknya manusia.
            Saya buat singkat saja. Sudah hampir lima bulan sejak tulisan terakhir saya di blog, di sebuah jagat dunia maya. Berbicara tentang dunia maya, saya mulai sedikit menguranginya dengan sebuah alasan yang masuk akal (menurut saya pribadi). Terlebih dulu, ijinkan saya berpendapat soal tulisan dan juga blog ini. Saya suka kebebasan meskipun sebenarnya kebebasan itu adalah sebuah beban. Saya tidak sepenuhnya menggunakan nafsu ketika merasakan bagaimana menjadi manusia bebas itu akan tetapi tetap mencoba menciptakan sebuah keharmonisan antara pikiran, akal, kesadaran sebagai manusia. Jadi semua terpilah sama rata, tidak ada yang timpang atau tak seimbang. Saya menulis juga bukan karena tuntutan, juga bukan atas dasar pekerjaan bahkan paksaan dari orang lain. Saya hanya laki-laki yang masih belum tahu apa ada cara lain untuk memberdayakan diri selain dengan menulis, manusiawi sekali bukan?.
            Tentang dunia maya, saya memang sedang menguranginya dalam beberapa porsi tertentu. Segala jejaring sosial tidak lagi saya ikuti, hibernasi entah sampai kapan saya belum merencanakan untuk kembali berhingar bingar dengannya. Alasannya cukup sederhana, karena menurut saya sudah terlalu banyak celah-celah kehidupan yang terusik, yang bahkan kadang dengan sengaja kita membuka ruang diri lebar-lebar tanpa sadar bahwa positif akan selalu diikuti dengan negatif. Terlepas dari hal tersebut, saya lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan membaca. Seorang dosen pernah berkata pada saya ketika kelas sedang berlangsung, beliau berkata bahwa sangat normal sekali jika anak muda seperti kalian (saya dan teman-teman saya) keranjingan (ekspresi dari bahasa jawa yang berarti ketagihan) membaca buku. Saya sependapat dengan beliau, beberapa teman lain juga seperti itu.
            Terkadang kita harus dihadapakan pada beberapa pilihan yang sulit untuk dipilih, segala sesuatu juga pasti mempunyai resiko. Jeda ini membuat saya paham bahwa apa yang baik untuk hidup saya, saya sendiri yang menentukan. Menjadi sedikit berbeda tak akan mengurangi nilai saya sebagai manusia di hadapan Tuhan. Proses yang tengah saya jalani ini sedikit banyak sudah memberi beberapa hal luar biasa dalam hidup, belajar sejarah, belajar agama, belajar pemikiran, belajar budaya, dan segala proses belajar yang saya lakukan masih akan terus berlanjut hingga nanti dicabutnya nafas dari raga, meninggalkan fana menuju kekal. Segala tulisan ini akhirnya juga hanya akan jadi penghias dan bukti bahwa saya pernah berada dalam satu titik yang sungguh luar biasa. Selamat membaca.

                                                                                                                        AV

Kuliah

Sebuah catatan perjalanan                                                                   Desember 2011

            Ketika kita sedang diam sementara segala sesuatunya berlalu dengan sangat cepat.
            Perasaan seperti itulah yang sepertinya sedang melanda beberapa teman sekelas saya dan juga saya dalam menghadapai berbagai tuntutan akademis. Tentang skripsi, tugas-tugas penghujung semester dan juga beberapa laporan yang harus segera diselesaikan. Sepertinya baru kemarin angka tigapuluh berganti dengan angka satu, tapi ternyata sudah hampir memasuki minggu kedua ujung bulan. Sebentar lagi tujuh akan beralih menjadi delapan, di suatu frase dimana saya harus segera menyudahinya, menyelesaikannya dengan indah agar bisa membawa kebanggaan kepada kedua orang tua.
            Sudah hampir tiga tahun saya menyandang sebutan mahasiswa di sebuah universitas di kota Malang, berjuang untuk memahami budaya dan bahasa orang lain setiap harinya. Namun sungguh bukan karena saya tidak bangga dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa. Kebanggaan tersebut masih tetap ada walau bagaimanapun kondisi Negara ini. Saya menempuh studi dengan belajar bahasa dan sastra Prancis. Saya akhirnya berhasil mengenal ilmu yang sungguh baru dalam otak ini, saya mengenal pemikir-pemikir yang tersohor seantero dunia, saya belajar bagaimana sebuah people power bisa merubah sejarah suatu Negara, saya mulai memperluas area ketertarikan saya pada beberapa hal. Ini semua bukan sepenuhnya tentang modernitas jaman dan juga dalam rangka eksistensi diri saya, tapi juga tentang kenyamanan yang sedang saya cari. Saya nyaman berada di tahap ini.
            Efek, suatu yang timbul akibat dari peran beberapa hal yang terjadi atau dilakukan sebelumnya. Mempelajari bahasa Prancis memberikan saya banyak sekali efek yang langsung berusaha menyatu dengan jalur hidup. Saya sadar bahwa harusnya ada keseimbangan antara bahasa asing dan juga bahasa asli saya, Indonesia dan Jawa. Oleh karena itu saya mulai memperbaiki diri, mencoba memahami lebih baik apa yang sudah seharusnya saya mengerti. Di sisi lain, nampaknya godaan untuk mempelajari bahasa asing lain juga tak bisa terbendung, bahasa Rusia tiba-tiba datang begitu saja dalam kepala dan meski harus berusaha menghafal Cyrillic (Alfabet Rusia) dengan susah payah, toh saya juga tetap berusaha menghafalnya, dengan terbata-bata. Belajar bahasa membuat saya juga tergerak untuk mempelajari sejarah dunia, segala sejarah mulai dari peradaban Aztec, Yunani kuno dan juga sejarah beberapa orang-orang yang menurut saya hebat. Leonardo Da Vinci, seorang seniman Italia yang berhasil menggegerkan dunia hanya lewat karya-karyanya yang berupa lukisan. Tan Malaka, seorang pahlawan yang harus terlupakan oleh sejarah bangsanya sendiri. Masih banyak juga lainnya seperti Sitor Situmorang, Victor Hugo, Goenawan Muhammad, Ajahn Sumedho dan lainnya.
            Waktu berlalu dengan sangat cepat tapi saya harus tetap bertanggung jawab atas kuliah saya, atas kepercayaan yang diberikan oleh orang tua agar mereka tidak merasa kecewa. Diam, berpikir dan produktif.  

            

Bla bla bla

Sebuah catatan perjalanan                                                                   (04 Mars 2011)

            Manusia manusia terjajah. Terampas nafas dan bebasnya sampai rela tertindas. Tragis? Tapi toh hidup hanya soal menunggu mati, menunggu malaikat maut datang entah malam atau siang, ketika sedang sholat atau tidur. Waktu bisa saja menjadi terlalu cepat dan terlambat, tapi hidup juga tentang sebuah arti yang kadang terlalu menuntut. Tanpa sedikitpun meragukan ke-esa-an Tuhan, aku bertanya apakah manusia harus terus bergantung pada takdir yang dibuat-Nya? Seolah olah takdir yang diberikannya akan selalu membawa akhir bahagia.
            Aku tak pernah sekalipun ragu akan keberadaanNya, aku seorang muslim dan sedang mencoba menjadi manusia yang berguna, selalu ingat menjalankan sholat lima waktu. Justru dari situ timbul pemikiran semacam ini. Aku setuju dengan ajaran Islam bahwa Tuhan mempunyai jalan sendiri untuk dianugerahkan kepada tiap-tiap makhluknya, tapi yang aku temui sekarang beberapa orang telah membuat penafsiran yang tergeser dari jalur yang seharusnya tentang takdir, tentang hidup dan juga kebesaran Tuhan.
            Ada sebagian orang-orang yang aku temui akhir-akhir ini terlalu mengagungkan akhir bahagia dalam takdirnya. Apakah mereka lupa bahwa dalam kehidupan kita harus terus berjuang dan bukan berarti menyerahkan semua pada suratan takdir. Akhirnya berkat segala kepatuhan yang tidak pada tempatnya mereka jadi membunuh hati mereka sendiri dan membiaskan semangat untuk menjalani hidup yang penuh perjuangan. Tanpa sadar, seolah udara yang disekelilingnya menjadi musuh, mencekik leher-leher mereka yang kecoklatan dari dalam. Kembali terkurung dalam era penjajahan mereka sendiri, penjajahan atas kesadaran mereka hingga tertindas serta terhempas dari kelayakan hidup dan meranggas.

Dari atas kereta

Sebuah catatan perjalanan                                                                   Oktober 2011                                                             
Dari atas kereta itu
Gambar cepat bergerak
Berlalu sepintas dulu
Pencerminan manusia-manusia diam
Berserah diri pada rangkai besi
Yang satu mendamba istri baru, sebelahnya lagi aku tak begitu tahu
Sedang aku mendamba ruang
Dimana aku rindu untuk bisa terlentang, telanjang dan kemudian saling memandang
                                               
                                    (8 Oktober 2011, di suatu tempat yang tak kuketahui namanya)

Oleh oleh dari Jogjakarta

Sebuah catatan perjalanan                                                                   Oktober 2011
Petualang macam apa saya ini?
Beberapa minggu lalu saya sudah berhasil berkunjung ke Jakarta, selaku ibukota Indonesia dan kali ini kota yang beruntung untuk saya kunjungi adalah Jogjakarta.
Ini bukan merupakan catatan perjalanan harian, hanya saja saya bingung harus melakukan apa di atas kereta yang mengantarkan saya kembali pulang ke Malang.
Dini hari. Teman saya, Duduwi yang duduk tepat di samping saya terlihat tertidur pulas . Saya adalah satu-satunya manusia yang terasing malam itu. Pemandangan gelap makin menambah keuselessan, beruntung masih ada pemutar musik yang saya harap bisa meninabobokan saya. Alex Turner, Bob Dylan, The Morning Benders, Barry Manilow, Arthur Lee hingga Peterpan!!, semua saya dengarkan dan nikmati sendiri. Malang juga masih jauh, belum ada separuh jalan.
Kemon, kemon, kemon ……
Dan akhirnya bertemulah saya dengan pencerahan, dengan hal-hal yang bisa saya tulis sebagai hasil dari pengalaman selama berada di Jogjakarta.
Siang tadi saya sudah bertemu dengan teori subjektivitas, self-identity dan social identity yang disajikan ibu doesn dari salah satu universitas ternama di pulau Jawa. Alhamdulillah, saya mendapat cukup banyak ilmu dari seminar yang diselenggarakan di UNY. Saya juga belajar tentang nilai-nilai yang cukup unik, tentang bapak-bapak perwakilan CCCL Surabaya yang sungguh amat low profile!! ( Sengaja sedikit berlebihan). Tentang ilmu dan tentang hal lainnya.
Hah! Mulai buntu otak ini. Sampai disini.
Oia, tentang kota Jogjakarta. Disana saya bisa bebas menjadi apa yang saya mau tanpa harus merasa ringkuh untuk menjadi jelek, tidak keren atau tidak enak dipandang. Maklum saja, kala itu saya hanya mengenakan kaos oblong yang dibeli dari malioboro, celana pendek yang sobek semua sakunya dan juga sepatu hitam polos tanpa kaos kaki. Sebenarnya saya ingin berdandan seperti backpacker atau semacam turis lokal lah (karena mustahil jika aku ingin menjadi turis manca, karena wajah saya sangat tidak memadai) tapi yang ada malah dibilang gembel dan bocah petualang. Namun, bagi saya hal seperti itu tidaklah menjadi masalah, toh hanya penilaian orang lain yang sudah pasti tidak akan sama satu dan lainnya. Stay cool.
Saya sudah membeli tiga kaos oblong untuk saya sendiri, dua batik untuk adik dan ibu dirumah serta satu kemeja batik untuk ayah. Rencananya ketiga kaos oblong tersebut akan saya pakai kuliah setiap hari, jadi begini rumusnya : 6 Hari kuliah dibagi 3 kaos oblong = Tiap 2 hari sekali saya baru berganti baju. Terdengar konyol kah ? Saya rasa tidak juga.
Menurut saya hal seperti itu malah mengasyikkan. Saya bisa merasa nyaman dengan kondisi seperti itu, lagipula apalah arti penampilan luar kan lebih penting apa yang ada di dalam (hati terutama). Akan lebih baik lagi jika bisa seimbang antara keduanya sih.
Kesimpulannya, di kota Jogja saya berhasil memahami (meski belum banyak) bagaimana cara memandang identitas, subjektivitas, social identity dan setelah itu saya berhasil merealisasikan apa yang ingin saya lakukan, menjadi biasa, apa adanya dan tetap fokus dengan cita-cita.
Sudah. Akhirnya benar-benar buntu juga otakku malam ini, di atas kereta.

Anniversaire


Situasi yang tercipta ketika ini, perut baru saja kenyang setelah melahap semangkuk koko krunch, duduk di atas kasur busa, bersandar pada tembok yang penuh dengan segala absurditas remaja dan sesekali melirik ke tumpukan buku yang baru saja terbeli. Pertanyaan yang sedang berputar di kepala saat ini, apakah saya masih remaja? dan seberapa tuakah saya?.
Kings of Leon mulai melebur sepi dan mencipta rasa.
Twenty One. Dua puluh satu. Vingt et un. TIdak lagi remaja. Dewasa.
Apa arti 5 ungkapan di atas bagi seorang mahasiswa sastra seperti saya ini ? Bukan malah memperingatinya malah justru saya ingin berbincang dengannya, lebih intim, saling menelanjangi dan meringkasnya menjadi kecil agar bisa saya letakkan di dalam kepala yang berasa sudah mulai penuh karena semakin dewasa semakin banyak pula kekhawatiran yang kadang terlalu kita risaukan. Dan akhirnya seperti ini, saya berhasil membuatnya tidak terlalu memenuhi kepala, karena setelah saya pikir-pikir lagi memori laptop ini masih menyisakan tempat.
Dua dasawarsa plus satu, sampailah saya pada tahap ini. Tak juga terlalu tua tapi juga masa remaja yang sudah tak bersisa.
Dua dasawarsa plus satu. Dua puluh satu. Dimana seorang laki-laki mendadak menjadi pemalu bercerita tentang lampau waktu dulu dan juga mendadak bernafsu agar semua segera berlalu. 
Sebuah catatan perjalanan (02 Oktober 2011)