Sabtu, 10 Desember 2011

Tentang sebuah jeda

Tentang sebuah jeda
            Jeda, sesuatu yang timbul dengan sendirinya tanpa kita sengaja memicu atau melahirkannya. Ketika kita sudah jauh melangkah dari angka satu dan akhirnya sampai ke angka lima atau bahkan sepuluh, dan baris angka yang tidak tersebut itulah yang bisa kita sebut sebagai jeda. Jeda bukanlah suatu hal yang berjalan terlalu cepat, tak juga terlalu singkat. Melangkah dari satu titik ke titik lainnya, merupakan sebuah proses dan kita (yang terdiri dari raga dan ruh ini) melaluinya, kita semua tanpa terkecuali.
            Proses, seperti halnya baris-baris huruf, kata dan kalimat yang diproses menjadi sebuah atau beberapa paragraf. Waktu dan segala jengah hangus didalamnya, juga segala suka maupun duka. Kita semua berproses.
            Aku, jeda dan proses. Aku lebih tepat menyebutku sebagai saya, agar tidak terlihat terlalu angkuh. Saya, jeda dan proses. Ketiga hal tersebut terjadi dan saling melengkapi satu sama lainnya. Tak nampak ganjil ataupun janggal, karena saya berusaha senormal mungkin saat ini layaknya manusia.
            Saya buat singkat saja. Sudah hampir lima bulan sejak tulisan terakhir saya di blog, di sebuah jagat dunia maya. Berbicara tentang dunia maya, saya mulai sedikit menguranginya dengan sebuah alasan yang masuk akal (menurut saya pribadi). Terlebih dulu, ijinkan saya berpendapat soal tulisan dan juga blog ini. Saya suka kebebasan meskipun sebenarnya kebebasan itu adalah sebuah beban. Saya tidak sepenuhnya menggunakan nafsu ketika merasakan bagaimana menjadi manusia bebas itu akan tetapi tetap mencoba menciptakan sebuah keharmonisan antara pikiran, akal, kesadaran sebagai manusia. Jadi semua terpilah sama rata, tidak ada yang timpang atau tak seimbang. Saya menulis juga bukan karena tuntutan, juga bukan atas dasar pekerjaan bahkan paksaan dari orang lain. Saya hanya laki-laki yang masih belum tahu apa ada cara lain untuk memberdayakan diri selain dengan menulis, manusiawi sekali bukan?.
            Tentang dunia maya, saya memang sedang menguranginya dalam beberapa porsi tertentu. Segala jejaring sosial tidak lagi saya ikuti, hibernasi entah sampai kapan saya belum merencanakan untuk kembali berhingar bingar dengannya. Alasannya cukup sederhana, karena menurut saya sudah terlalu banyak celah-celah kehidupan yang terusik, yang bahkan kadang dengan sengaja kita membuka ruang diri lebar-lebar tanpa sadar bahwa positif akan selalu diikuti dengan negatif. Terlepas dari hal tersebut, saya lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan membaca. Seorang dosen pernah berkata pada saya ketika kelas sedang berlangsung, beliau berkata bahwa sangat normal sekali jika anak muda seperti kalian (saya dan teman-teman saya) keranjingan (ekspresi dari bahasa jawa yang berarti ketagihan) membaca buku. Saya sependapat dengan beliau, beberapa teman lain juga seperti itu.
            Terkadang kita harus dihadapakan pada beberapa pilihan yang sulit untuk dipilih, segala sesuatu juga pasti mempunyai resiko. Jeda ini membuat saya paham bahwa apa yang baik untuk hidup saya, saya sendiri yang menentukan. Menjadi sedikit berbeda tak akan mengurangi nilai saya sebagai manusia di hadapan Tuhan. Proses yang tengah saya jalani ini sedikit banyak sudah memberi beberapa hal luar biasa dalam hidup, belajar sejarah, belajar agama, belajar pemikiran, belajar budaya, dan segala proses belajar yang saya lakukan masih akan terus berlanjut hingga nanti dicabutnya nafas dari raga, meninggalkan fana menuju kekal. Segala tulisan ini akhirnya juga hanya akan jadi penghias dan bukti bahwa saya pernah berada dalam satu titik yang sungguh luar biasa. Selamat membaca.

                                                                                                                        AV

Kuliah

Sebuah catatan perjalanan                                                                   Desember 2011

            Ketika kita sedang diam sementara segala sesuatunya berlalu dengan sangat cepat.
            Perasaan seperti itulah yang sepertinya sedang melanda beberapa teman sekelas saya dan juga saya dalam menghadapai berbagai tuntutan akademis. Tentang skripsi, tugas-tugas penghujung semester dan juga beberapa laporan yang harus segera diselesaikan. Sepertinya baru kemarin angka tigapuluh berganti dengan angka satu, tapi ternyata sudah hampir memasuki minggu kedua ujung bulan. Sebentar lagi tujuh akan beralih menjadi delapan, di suatu frase dimana saya harus segera menyudahinya, menyelesaikannya dengan indah agar bisa membawa kebanggaan kepada kedua orang tua.
            Sudah hampir tiga tahun saya menyandang sebutan mahasiswa di sebuah universitas di kota Malang, berjuang untuk memahami budaya dan bahasa orang lain setiap harinya. Namun sungguh bukan karena saya tidak bangga dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa. Kebanggaan tersebut masih tetap ada walau bagaimanapun kondisi Negara ini. Saya menempuh studi dengan belajar bahasa dan sastra Prancis. Saya akhirnya berhasil mengenal ilmu yang sungguh baru dalam otak ini, saya mengenal pemikir-pemikir yang tersohor seantero dunia, saya belajar bagaimana sebuah people power bisa merubah sejarah suatu Negara, saya mulai memperluas area ketertarikan saya pada beberapa hal. Ini semua bukan sepenuhnya tentang modernitas jaman dan juga dalam rangka eksistensi diri saya, tapi juga tentang kenyamanan yang sedang saya cari. Saya nyaman berada di tahap ini.
            Efek, suatu yang timbul akibat dari peran beberapa hal yang terjadi atau dilakukan sebelumnya. Mempelajari bahasa Prancis memberikan saya banyak sekali efek yang langsung berusaha menyatu dengan jalur hidup. Saya sadar bahwa harusnya ada keseimbangan antara bahasa asing dan juga bahasa asli saya, Indonesia dan Jawa. Oleh karena itu saya mulai memperbaiki diri, mencoba memahami lebih baik apa yang sudah seharusnya saya mengerti. Di sisi lain, nampaknya godaan untuk mempelajari bahasa asing lain juga tak bisa terbendung, bahasa Rusia tiba-tiba datang begitu saja dalam kepala dan meski harus berusaha menghafal Cyrillic (Alfabet Rusia) dengan susah payah, toh saya juga tetap berusaha menghafalnya, dengan terbata-bata. Belajar bahasa membuat saya juga tergerak untuk mempelajari sejarah dunia, segala sejarah mulai dari peradaban Aztec, Yunani kuno dan juga sejarah beberapa orang-orang yang menurut saya hebat. Leonardo Da Vinci, seorang seniman Italia yang berhasil menggegerkan dunia hanya lewat karya-karyanya yang berupa lukisan. Tan Malaka, seorang pahlawan yang harus terlupakan oleh sejarah bangsanya sendiri. Masih banyak juga lainnya seperti Sitor Situmorang, Victor Hugo, Goenawan Muhammad, Ajahn Sumedho dan lainnya.
            Waktu berlalu dengan sangat cepat tapi saya harus tetap bertanggung jawab atas kuliah saya, atas kepercayaan yang diberikan oleh orang tua agar mereka tidak merasa kecewa. Diam, berpikir dan produktif.  

            

Bla bla bla

Sebuah catatan perjalanan                                                                   (04 Mars 2011)

            Manusia manusia terjajah. Terampas nafas dan bebasnya sampai rela tertindas. Tragis? Tapi toh hidup hanya soal menunggu mati, menunggu malaikat maut datang entah malam atau siang, ketika sedang sholat atau tidur. Waktu bisa saja menjadi terlalu cepat dan terlambat, tapi hidup juga tentang sebuah arti yang kadang terlalu menuntut. Tanpa sedikitpun meragukan ke-esa-an Tuhan, aku bertanya apakah manusia harus terus bergantung pada takdir yang dibuat-Nya? Seolah olah takdir yang diberikannya akan selalu membawa akhir bahagia.
            Aku tak pernah sekalipun ragu akan keberadaanNya, aku seorang muslim dan sedang mencoba menjadi manusia yang berguna, selalu ingat menjalankan sholat lima waktu. Justru dari situ timbul pemikiran semacam ini. Aku setuju dengan ajaran Islam bahwa Tuhan mempunyai jalan sendiri untuk dianugerahkan kepada tiap-tiap makhluknya, tapi yang aku temui sekarang beberapa orang telah membuat penafsiran yang tergeser dari jalur yang seharusnya tentang takdir, tentang hidup dan juga kebesaran Tuhan.
            Ada sebagian orang-orang yang aku temui akhir-akhir ini terlalu mengagungkan akhir bahagia dalam takdirnya. Apakah mereka lupa bahwa dalam kehidupan kita harus terus berjuang dan bukan berarti menyerahkan semua pada suratan takdir. Akhirnya berkat segala kepatuhan yang tidak pada tempatnya mereka jadi membunuh hati mereka sendiri dan membiaskan semangat untuk menjalani hidup yang penuh perjuangan. Tanpa sadar, seolah udara yang disekelilingnya menjadi musuh, mencekik leher-leher mereka yang kecoklatan dari dalam. Kembali terkurung dalam era penjajahan mereka sendiri, penjajahan atas kesadaran mereka hingga tertindas serta terhempas dari kelayakan hidup dan meranggas.

Dari atas kereta

Sebuah catatan perjalanan                                                                   Oktober 2011                                                             
Dari atas kereta itu
Gambar cepat bergerak
Berlalu sepintas dulu
Pencerminan manusia-manusia diam
Berserah diri pada rangkai besi
Yang satu mendamba istri baru, sebelahnya lagi aku tak begitu tahu
Sedang aku mendamba ruang
Dimana aku rindu untuk bisa terlentang, telanjang dan kemudian saling memandang
                                               
                                    (8 Oktober 2011, di suatu tempat yang tak kuketahui namanya)

Oleh oleh dari Jogjakarta

Sebuah catatan perjalanan                                                                   Oktober 2011
Petualang macam apa saya ini?
Beberapa minggu lalu saya sudah berhasil berkunjung ke Jakarta, selaku ibukota Indonesia dan kali ini kota yang beruntung untuk saya kunjungi adalah Jogjakarta.
Ini bukan merupakan catatan perjalanan harian, hanya saja saya bingung harus melakukan apa di atas kereta yang mengantarkan saya kembali pulang ke Malang.
Dini hari. Teman saya, Duduwi yang duduk tepat di samping saya terlihat tertidur pulas . Saya adalah satu-satunya manusia yang terasing malam itu. Pemandangan gelap makin menambah keuselessan, beruntung masih ada pemutar musik yang saya harap bisa meninabobokan saya. Alex Turner, Bob Dylan, The Morning Benders, Barry Manilow, Arthur Lee hingga Peterpan!!, semua saya dengarkan dan nikmati sendiri. Malang juga masih jauh, belum ada separuh jalan.
Kemon, kemon, kemon ……
Dan akhirnya bertemulah saya dengan pencerahan, dengan hal-hal yang bisa saya tulis sebagai hasil dari pengalaman selama berada di Jogjakarta.
Siang tadi saya sudah bertemu dengan teori subjektivitas, self-identity dan social identity yang disajikan ibu doesn dari salah satu universitas ternama di pulau Jawa. Alhamdulillah, saya mendapat cukup banyak ilmu dari seminar yang diselenggarakan di UNY. Saya juga belajar tentang nilai-nilai yang cukup unik, tentang bapak-bapak perwakilan CCCL Surabaya yang sungguh amat low profile!! ( Sengaja sedikit berlebihan). Tentang ilmu dan tentang hal lainnya.
Hah! Mulai buntu otak ini. Sampai disini.
Oia, tentang kota Jogjakarta. Disana saya bisa bebas menjadi apa yang saya mau tanpa harus merasa ringkuh untuk menjadi jelek, tidak keren atau tidak enak dipandang. Maklum saja, kala itu saya hanya mengenakan kaos oblong yang dibeli dari malioboro, celana pendek yang sobek semua sakunya dan juga sepatu hitam polos tanpa kaos kaki. Sebenarnya saya ingin berdandan seperti backpacker atau semacam turis lokal lah (karena mustahil jika aku ingin menjadi turis manca, karena wajah saya sangat tidak memadai) tapi yang ada malah dibilang gembel dan bocah petualang. Namun, bagi saya hal seperti itu tidaklah menjadi masalah, toh hanya penilaian orang lain yang sudah pasti tidak akan sama satu dan lainnya. Stay cool.
Saya sudah membeli tiga kaos oblong untuk saya sendiri, dua batik untuk adik dan ibu dirumah serta satu kemeja batik untuk ayah. Rencananya ketiga kaos oblong tersebut akan saya pakai kuliah setiap hari, jadi begini rumusnya : 6 Hari kuliah dibagi 3 kaos oblong = Tiap 2 hari sekali saya baru berganti baju. Terdengar konyol kah ? Saya rasa tidak juga.
Menurut saya hal seperti itu malah mengasyikkan. Saya bisa merasa nyaman dengan kondisi seperti itu, lagipula apalah arti penampilan luar kan lebih penting apa yang ada di dalam (hati terutama). Akan lebih baik lagi jika bisa seimbang antara keduanya sih.
Kesimpulannya, di kota Jogja saya berhasil memahami (meski belum banyak) bagaimana cara memandang identitas, subjektivitas, social identity dan setelah itu saya berhasil merealisasikan apa yang ingin saya lakukan, menjadi biasa, apa adanya dan tetap fokus dengan cita-cita.
Sudah. Akhirnya benar-benar buntu juga otakku malam ini, di atas kereta.

Anniversaire


Situasi yang tercipta ketika ini, perut baru saja kenyang setelah melahap semangkuk koko krunch, duduk di atas kasur busa, bersandar pada tembok yang penuh dengan segala absurditas remaja dan sesekali melirik ke tumpukan buku yang baru saja terbeli. Pertanyaan yang sedang berputar di kepala saat ini, apakah saya masih remaja? dan seberapa tuakah saya?.
Kings of Leon mulai melebur sepi dan mencipta rasa.
Twenty One. Dua puluh satu. Vingt et un. TIdak lagi remaja. Dewasa.
Apa arti 5 ungkapan di atas bagi seorang mahasiswa sastra seperti saya ini ? Bukan malah memperingatinya malah justru saya ingin berbincang dengannya, lebih intim, saling menelanjangi dan meringkasnya menjadi kecil agar bisa saya letakkan di dalam kepala yang berasa sudah mulai penuh karena semakin dewasa semakin banyak pula kekhawatiran yang kadang terlalu kita risaukan. Dan akhirnya seperti ini, saya berhasil membuatnya tidak terlalu memenuhi kepala, karena setelah saya pikir-pikir lagi memori laptop ini masih menyisakan tempat.
Dua dasawarsa plus satu, sampailah saya pada tahap ini. Tak juga terlalu tua tapi juga masa remaja yang sudah tak bersisa.
Dua dasawarsa plus satu. Dua puluh satu. Dimana seorang laki-laki mendadak menjadi pemalu bercerita tentang lampau waktu dulu dan juga mendadak bernafsu agar semua segera berlalu. 
Sebuah catatan perjalanan (02 Oktober 2011)


Minggu, 17 Juli 2011

Selamat Berjumpa Kembali

Adalah suatu pernyataan ketika saya mencoba kembali akrab dengan tulisan-tulisan, buku-buku dan beberapa pernyataan dari sekitar saya. Sudah cukup lama juga saya tidak menyentuh tumpukan buku-buku yang kini menjadi berdebu. Banyak buku yang masih belum selesai saya baca mulai dari fritjof capra - sains of Leonardo sampai buku tan malaka dibunuh - yunior hafidh henry. Saya sadar bahwa semakin banyak yang bisa saya dapat, semakin banyak pula yang harus saya tinggalkan, karena akhir-akhir ini justru saya lebih banyak disibukkan dengan hal-hal di luar soal buku ataupun menulis yang membuat saya lebih banyak mendapat ruang untuk hal-hal baru namun dengan konsekuensi buku-buku saya terlantar dan produksi kata-kata saya terhenti untuk sesaat. Cukup adil sepertinya jika memang harus seperti itu.
            Pukul 22.46, saya tidak lagi memakai kacamata karena mata sudah sedikit lelah berhadapan dengan layar laptop yang menyala. Sambil mencoba mempertahankan kesadaran agar tidak segera mengantuk, ditemani tembang-tembang dari Alex Turner – OST Submarine yang menurut saya sangat tepat untuk dijadikan pengantar tidur.
            Sebenarnya sampai disini saya bingung apalagi yang harus saya tulis, tapi ada juga yang pernah bilang tulis apa yang ingin kau tulis, apa yang ada di pikiranmu. Jadinya, saya memutuskan untuk menulis apa yang sedang ada di pikiran saya sekarang. Tanpa harus takut untuk meniadakan korelasi antara paragraph satu dengan selanjutnya atau menyamarkan inti tulisan yang sedang berusaha saya ketik ini. Saya tidak ingin sekedar menyimpulkan sesuatu, memberi pandangan utuh akan suatu hal tapi saya hanya ingin menulis.
            Rasa kekaguman saya akan ambigram masih saja melekat, padahal sudah beberapa minggu lalu sejak menonton angel & demons. Tapi juga sebenarnya bukan hanya soal ambigram, masih banyak juga yang lain yang ingin saya ketahui lebih jauh.
            Selain itu, baru saja saya mendapat kata-kata yang bagus ketika sedang menonton JLC tentang kasus prita. Disitu prita membuat pernyataan bahwa masih ada hal terbaik meski dalam suatu keburukan sekalipun.
            Saya juga masih mencoba membiasakan diri untuk mempelajari bagaimana menulis dengan tangan kiri. Bukan bermaksud untuk meniru gaya Leonardo tapi hanya ingin memicu keseimbangan antara otak kanan dan kiri saya.
            Semangat saya untuk menyelesaikan buku pertama masih timbul tenggelam. Baru 20 halaman yang saya ketik, untuk melanjutkannya terasa sangat berat karena saya terlalu malas.
            Berdoa agar kuliah diperlancar, besok pagi sudah mulai untuk kkn di Batu juga semoga diperlancar, skripsi juga semoga diperlancar dan diberi kemudahan. Ya, setidaknya diberi kemudahan untuk dapat beasiswa di Universite Toulouse le Mirail untuk jurusan filosofi dalam lingkup eropa, ya tapi itupun kalau Tuhan mengijinkan. Kalau tidak ya, cari beasiswa di UI entah itu jurusan yang sama atau berbeda. Kalau keinginannya ya bisa masuk jurusan yang berhubungan dengan pemikiran-pemikiran.
            Oia, setelah saya pikir-pikir nampaknya sudah cukup larut malam. Saya harus segera tidur untuk beberapa jam lagi bangun. Menunaikan apa yang sudah menjadi kewajiban saya sebagai makhluk Tuhan.
            Selamat datang dan selamat bersenang senang.

Senin, 02 Mei 2011

Tentang sebuah wajah

Saya sedang menunggu seorang bapak tukang sepatu yang sedang membetulkan keadaan sepatu saya yang compang-camping di depan rumah. Saya berada di kamar, di depan laptop yang menyala sepuluh menit yang lalu. Sebelum itu saya duduk di teras, berhadapan dengan bapak tua yang fokus dengan pekerjaannya. Muncul saja tiba-tiba ide untuk membuat tulisan tentang beliau. Tentang sebuah wajah dengan cerita kehidupannya.
Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, tentang satu sosok lelaki di depan rumah saya itu. Apakah dia punya anak, istri? Berapa penghasilan yang bisa dia bawa kerumah? Bagaimana kalau dia tidak membawa uang ketika nanti pulang? Dan berbagai pertanyaan lain yang beredar seliar-liarnya di kepala. 
Wajahnya tua, tetap saja terserang matahari meski mengenakan topi caping itu. Ketika pertama kali Ibu memanggilnya, satu senyum terpancar dari wajah itu. Wajah yang masih bisa selalu tersenyum meski bisa saja nanti ketika pulang dia hanya membawa uang yang tidak seberapa. Dengan sepeda tua dia mencari nafkah untuk keluarga yang sedang menunggunya dirumah. Kotak kayu dari bahan triplek menjadi teman perjalanannya dimanapun dia berjalan berputar, entah hujan atau panas datang. Dia tetap mengayuh pelan sepedanya, dengan teriakan khasnya “Sol sepatu”. Beberapa jahit dan ketukan palu sudah sangat berarti bagi hidupnya, karena baginya itu adalah satu harapan yang tercipta baginya hari ini. Entah, apa mungkin besok atau lusa alat-alat yang ia bawa masih akan terasah dalam bidangnya, atau malah hanya diam. 
Lima belas menit menunggu, ternyata beliau sudah selesai menyelesaikan pekerjaannya. 
Semoga sepeda itu masih bisa membawanya berkeliling, menjual jasa perbaikan sepatu dengan kotak kayu yang tidak terburu menjadi rapuh karena hujan dan matahari. Semoga senyumnya masih terkembang dan ayun kakinya masih kuat untuk memaknai kehidupan. 


Samedi, 23 Avril 2011

Senin, 18 April 2011

Hanya sekedar ingatan ada apa hari ini



Pagi-pagi saya terbangun dan terpanggil setelah membaca pesan singkat dari yayan, teman saya yang juga ketua umum teater lingkar fakultas. Mengingatkan saya untuk segera datang ke diklat alam di coban jahe, sekitar 30 km dari tempat saya tinggal. Setelah membereskan diri dan mengumpulkan nyawa, saya berangkat dengan membawa serta celana ganti dan sandal jepit untuk disana. Setelah sempat singgah sebentar untuk mengisi bensin di daerah rampal saya melanjutkan perjalanan yang saya tempuh tanpa teman bicara alias sendirian. Hanya mengguman dan berdendang kecil yang bisa saya lakukan di perjalanan agar tidak lagi merasa ngantuk dan terlalu berlebihan merasakan kaki yang kram efek dari olahraga kemarin hari. Sudah hampir satu jam perjalanan saya mendapatkan pesan singkat yang lagi-lagi dari Yayan Surayan yang memberi petunjuk dimana tepatnya lokasi diklat. Rupanya saya sudah sempat mengenal area tersebut setelah beberapa bulan lalu saya dua kali datang kesitu untuk sekedar membaca di sebuah perpustakaan yang luar biasa. Setelah sempat beberapa kali salah jalan hingga ke pelosok-pelosok dan bertemu dengan jalan berbatu akhirnya saya bisa menemukan jalur yang tepat menuju area coban. 
Jalan yang saya tempuh awalnya biasa-biasa saja, mungkin hanya jalan berbatu yang hampir membuat saya merasa seperti naik unta di kebun binatang. Dan akhirnya saya berhasil menemukan belokan terakhir menuju coban setelah sebelumnya bertanya pada seorang bapak tua penjual pisang. Mulai dari sini, mungkin saya patut berucap syukur pada Tuhan.
Saya mulai memasuki jalan yang saya rasa tidak pantas dimasuki oleh kendaraan bermotor terlebih lagi ketika musim penghujan datang. Beberapa kali roda motor yang saya kendarai selip akibat tumpukan lumpur yang menyelimuti roda  belakang. Setelah berusaha selihai atau lebih tepatnya sok lihai dalam mengendarai motor akhirnya saya terjungkal juga pada satu titik yang menanjak, berbatu dan berlumpur. Pada titik setelah saya melewati Taman Makan Pahlawan Kali Jahe di kanan jalan, saya terjerembab hampir masuk ke lahan yang berada di bawah. Untungnya ada seorang wanita berkacamata yang sedang menunggu suaminya mencari bambu yang menolong saya dan menceramahi saya bahwa jalur di depan tidak mungkin bisa dilewati karena licin. Akhirnya dengan motor, sepatu, celana dan hoodie yang belepotan lumpur saya diam sejenak disana sembari membersihkan diri dengan daun-daun yang gugur, dengan seadanya. Kemudian saya berusaha mengirim pesan singkat pada Surayan dan ternyata daerah tersebut sempat tidak terjangkau oleh sinyal. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya saya memutuskan untuk kembali pulang ( suatu hal yang bodoh sekali ) karena hasrat untuk pijat sangatlah tinggi setelah badan ini tertimpa motor dan tangan ini salah dalam menumpu ketika jatuh. Akhirnya saya benar-benar pulang kembali ke rumah tanpa berhasil menemukan lokasi coban jahe yang sebenarnya, menemukan teman-teman saya yang pasti sedikit kesal dengan saya. Dan lagi-lagi, setelah melewati area TMP saya kembali terjungkal dan kembali bertemu akrab dengan lumpur-lumpur disana. 
Begitulah perjalanan bodoh yang saya lakukan, tanpa berhasil menemukan tujuan. Tapi untungnya saya berhasil menyadari bahwa dalam setiap kebodohan pun kita akan menemukan sesuatu untuk dicermati. Banyak hal yang seharusnya bisa saya nikmati sepulang dari Tumpang. Hanya untuk sekedar melihat bagaimana senyum ibu-ibu penjual cat di pinggir jalan yang menunggu seseorang membeli cat, bagaimana mencoba merasakan rasa khawatir yang dialami oleh seorang nenek yang duduk di atas kursi roda yang juga sedang diangkut diatas motor bak merk Hercules yang senantiasa menggenggam erat tangan suami disebelahnya, kepolosan anak-anak sekolah dasar di desa yang bersandar pada tiang jembatan menunggu ayahnya datang menjemputnya dengan membawa seikat rumput untuk pakan ternak dan lain sebagainya. 
Saya sadar bahwa perjalanan hari ini tidaklah sebodoh yang saya pikir. Terima kasih
Sabtu/ 16 Avril 2011 

Dilema Delima Dua

 Sudah lama semenjak terakhir kali kami berada disana, menghabiskan sore dengan mengobrol dan berbincang. Hingga petang dan malam menjelang tak terasa, berhasil menggerakkan seorang hansip tua untuk mengingatkan kami. Tentang cita rasa ale-ale rasa jeruk yang selalu menjadi menu utama disamping teh kotak dan sekotak susu ultra, disambut senyum pak rt dan kadang istrinya. Canda tukang mie yang ternyata beristri dua, selalu menjadi penanda bahwa sore mulai karam di tepi barat. Waktu bagi penjual tahu telor untuk memanjakan perut kami yang terkadang terlalu lapar dan garang. Sekali ketika ingin melaksanakan sholat, kantor Mas Solikin kadang cukup memungkinkan untuk dipakai beribadah. Dan sesekali Mas Yunus menyapa dengan senyum khasnya, bukan senyum angkuh tapi senyum akrab, yang membantu kami untuk bertahan sekali lagi disana. Jika saja hujan turun tiba-tiba tanpa permisi, warung Pak Di selalu sedia untuk kami semua menyelamatkan papan beroda yang bagi kami sebenarnya adalah teman, bukan alat atau penopang gaya semata. Baju boleh saja basah tapi papan harus tetap kering. Jikalau rasa lapar datang terlalu dini di awal sore, bakso 747 selalu menjadi idaman dengan kuahnya yang berbeda. Dan kadang seorang wanita muda yang masih gigih dan bersemangat menjual kue keliling menawari kami, setiap hari. Tanpa lelah tanpa canggung, berharap kami sekali waktu saja membeli kue penopang hidupnya. Ketika malam mulai larut, teriakan tukang sate mulai meraja. Seorang anak muda yang mendorong gerobak sate, diikuti sang ayah dibelakang yang rupanya mendidik anaknya untuk meneruskan mata pencaharian andalan keluarganya itu. Sembari itu kami bergegas, mengembalikan sepi pada tempatnya. Meninggalkan DELIMA dan berharap hujan enggan datang keesokan harinya.

Minggu, 03 April 2011

Don Juan

Waktu kecil dulu saya pernah sedikit bingung jika ditanya oleh bapak atau ibu Guru tentang apa cita-cita saya. Teman-teman yang lain ada yang menjawab ingin menjadi guru, dokter, tentara dan lain-lain. Saya baru menemukan jawaban untuk pertanyaan 17 tahun lalu itu sekarang. Saya sudah memutuskan ingin jadi penulis, entah menulis apapun itu karena saya baru sadar Tuhan memberikan sebuah anugerah yang sangat langka yaitu sisi Don Juan yang menghuni diri saya yang sawo matang ini. 
Don Juan adalah sebuah istilah yang ditemukan oleh teman-teman saya yang saya juga baru menyadari kalau selama ini saya mempunyai sifat itu. Artinya saya kurang begitu tahu tapi kalau boleh mengartikannya, Don itu dari bahasa Spanyol yang artinya sebuah gelar untuk orang-orang yang berpengaruh. Juan, mungkin hanya sebuah nama biasa asal Spanyol yang pada waktu dulu itu pernah menghebohkan masyarakat disekitarnya dengan sifat-sifat yang ia punya. Don Juan sama halnya dengan Cassanova yang dalam hidupnya selalu diisi dengan wanita-wanita.
Apa hubungannya Saya,jadi Penulis dan Don Juan kalau begitu?
Saya mendadak dikenal dengan julukan seperti itu alasannya adalah karena bla bla bla bla bla ( mungkin orang-orang di sekitar saya sudah tahu kenapa :). Terima kasih atas julukan yang diberikan pada saya, karena dengan begitu menunjukkan anda-anda semua sayang pada saya ini. Selalu saja ada dua hal yang bertentangan di dunia ini dan Tuhan memang menciptakannya seperti itu. Selalu ada susah senang, pro kontra, diam ramai, hidup mati dan sebagainya. Nah hal-hal seperti itu pula yang secara tidak langsung dibutuhkan oleh orang yang suka menulis, seperti halnya Andrea Hirata yang terjebak dalam dua oposisi tidak mampu dan berkecukupan dan akhirnya dia berhasil menghasilkan karya yang luar biasa ketika dia terjebak dalam satu posisi, ketidakmampuan. Dengan mengumpulkan kepedean saya berpendapat bahwa ketika saya terjebak dalam kedonjuanan itu, saya juga bisa dan mampu menghasilkan sesuatu nantinya yang berhubungan dengan kegiatan tulis menulis. Suatu hasil yang positif dan bukan negatif ( tapi anda boleh berspkeluasi sendiri apakah hal itu, saya suka mengijinkan manusia-manusia lain bebas untuk berpikir, hahaha ). Ada sebuah konsep pemikiran yang pernah saya ciptakan dan sempat saya sampaikan ke Dosen dan beberapa teman ketika kelas sastra berlangsung, pemikiran satu manusia hanya bisa berkenan dan berlaku bagi manusia itu sendiri dan tidak bagi manusia lainnya karena setiap manusia punya pemikiran yang sangat luas. Jadi adalah suatu yang mustahil jika ada pemikiran dua manusia yang benar-benar sejalan. Itulah kenapa selalu saja ada oposisi-oposisi yang tercipta, karena kita masih manusia yang punya pemikiran masing-masing.
Menjadi seperti ini bukan keinginan saya, bukan kehendak Tuhan cuma beberapa pemikiran yang keluar dari batas saja. Menjadi seperti ini juga bukanlah hal yang baik dan membanggakan karena saya sama sekali tidak bangga sedikitpun. Tapi ketika sampai di titik ini kemudian saya tahu bahwa segala yang dimulai juga harus segera dihentikan, seperti nanti saya akan mati karena saya telah berkesempatan untuk hidup.
Saya mencoba untuk menjadi seorang penulis yang baik dan berusaha meninggalkan sifat-sifat yang jelek. Setidaknya saya pernah mendapat banyak pelajaran dari beberapa kegagalan, keegoisan, penilaian-penilaian dan lain lain yang mungkin nanti bisa jadi tulisan saya, atau bahkan menjadi sebuah buku.
Terima kasih kepada semua yang pernah berada di dalam lingkaran hidup saya yang biasa-biasa saja ini, pada teman-teman yang selalu peduli dan sayang pada saya, dan pada setiap kesempatan yang bersedia datang dua kali :). 

Rabu, 30 Maret 2011

Manusia manusia impian

       Manusia adalah satu-satunya ciptaan tuhan yang sungguh sangat spesial diantara makhluk ciptaan lainnya. Spesial adalah suatu tingkatan yang tercipta oleh pemikiran manusia itu sendiri untuk mendapatkan suatu titik yang bernilai tinggi dan berbeda dengan titik-titik lainnya. Titik lainnya adalah seperti halnya sesuatu yang bersifat biasa, bermakna, tak bermakna, tak berarti dan masih banyak ungkapan lainnya. Perbedaan yang sangat mencolok antara manusia dengan hewan misalnya, yang bisa menjadi salah satu data pendukung kenapa “kita” pantas disebut sebagai makhluk spesial karena manusia mempunyai daya pikir yang berkembang dibanding dengan hewan yang hanya dianugerahi insting tanpa ada penyeimbang lainnya. Perbandingan seperti ini hanya merupakan salah satu contoh dari satu sudut pandang saja yang bisa kita lihat dalam realita kehidupan yang tengah kita jalani dengan segala elemen-elemen kehidupan yang sudah ada dan akan hadir dalam rangkaian waktu yang kita sebut kehidupan. 
Pemikiran manusia yang selalu berkembang adalah salah satu pendukung untuk menjadi suatu pertanda bahwa kehidupan masih terus berjalan. Hidup yang bertujuan untuk mencapai suatu titik yang bagi sebagian orang menyebutnya puncak kehidupan namun ada pula yang menganggap kematian sebagai tahap dimana manusia akan mengalami penataan ulang sistem yang berkesinambungan antara roh dan materi seperti halnya jiwa dan raga, atau bisa kita sederhanakan menjadi nyawa yang bersatu lagi dengan wujud nyata pelaku kehidupan namun dengan perantara yang berbeda yang biasa disebut reinkarnasi. Ada yang mengatakan bahwa manusia pertama kali berasal dari Adam dan Hawa (Islam) namun ada juga yang berpendapat bahwa manusia tercipta dari evolusi vertebrata atau kera (Teori evolusi Darwin). Lebih jauh sebelum kemunculan dua hal di atas, beberapa lainnya beranggapan bahwa bumi dan seluruh tata surya, galaksi dan alam semesta ini tercipta karena adanya suatu ledakan besar yang dikenal sebagai Teori Big Bang yang dari situlah muncul suatu partikel mini yang mengandung inti kehidupan dan kemudian menghasilkan tata surya seperti yang sudah kita ketahui sejak dari sekolah dasar. Jika dilihat dari sudut yang lebih tinggi lagi, sesungguhnya hanya terdapat keyakinan akan adanya Allah swt yang terlebih dahulu menciptakan atau menata alam semesta dan menghendakinya menjadi seperti sekarang ini, akan tetapi masih belum ada pemikiran yang membahas sesuatu yang lebih tinggi tentang asal usul kehidupan manusia dan alam semesta karena ada kaitannya dengan kekuasaan tuhan.
Pada akhirnya manusia lah yang akan menentukan bagaimana kondisi pemikiran yang berlaku dalam kehidupan selanjutnya. “Hanya ada satu bidang yang masih mempunyai kesempatan untuk berevolusi lebih lanjut yaitu dalam noosphere; dengan kata lain evolusi menyangkut manusia karena manusia adalah poros dan garis depan evolusi” ( Teilhard de Chardin )
Kesempurnaan yang menjadi tujuan akhir manusia sebenarnya adalah bukan kesempurnaan secara fisik atau secara nyata melainkan kesempurnaan secara batiniah atau kondisi di dalam manusia itu sendiri (pemikiran).
Oleh : Namung Maulidan

Hukum RI-mba

      Seharusnya kita itu berpikir. Berpikir jauh melebihi siapapun. Memikirkan jalan keluar dari segala kemelaratan bangsa, kesengsaraan individu, dan kekacauan yang simpang siur yang enggan beranjak dari tanah air ini. Coba temukan, temukan hitungan yang tepat akan sampai berapa lama penjajahan oleh kaum-kaum atas kepada kaum kelas bawah yang tak lain adalah saudara sebangsanya sendiri. Penjajahan kali ini bukanlah penjajahan yang terbuka, penjajahan yang diketahui oleh dunia-dunia luar sana. Penjajahan yang lebih modern dari sebelumnya, lebih tersusun rapi dan tanpa cacat jika dilihat dari luar. Mereka-mereka it uterus menggerus tak peduli dari dasar atau puncaknya. Seperti rayap yang berbondong-bondong menyerang serat kayu. Hingga tidak lagi menyisakan ruang, memberi tempat pada saudara sebangsa untuk mencicipi angin yang berhembus sepoi di puncak kehidupan. Bahkan dengan tega membiarkan mereka, kaum kelas bawah berputus asa, terlalu pasrah dengan kehidupan. Mereka mulai menggali-gali tanah tempat mereka terhempas dari atas sana. Menggali dengan tangan-tangan kasar mereka, tangan yang sudah terlalu lama mendamba sebungkus roti, semangkuk nasi dan segelas air putih. Tak peduli darah atau nanah mengotori tubuh dan kain lusuh yang mereka pakai. Mereka terus saja menggali berharap menemukan sesuatu untuk mengisi perut kosong mereka. Cacing-cacing tanah atau bahkan tikus got yang sudah menjadi bangkai di kedalamannya. Entah kapan hujan turun untuk pertama kalinya disini. Hujan yang mampu memberi sedikit kesegaran, memberi kehidupan pada sungai-sungai yang mengering, memberi sihir pada tanah gersang dan memberi kehidupan pada jiwa-jiwa yang terlantar, tersingkir di tengah percepatan jaman, tersungkur akibat keegoisan manusia sebayanya.
N.M

Harmoni

  Muncul sebuah pertanyaan di kepalaku pagi ini, tentang arti sebuah kata yang biasa disebut harmoni. Di saat bersamaan ketika aku mendengarkan sebuah karya dari sebuah band bernama PADI dengan lagu yang berjudul sama, harmoni. Ada satu bait yang selalu aku coba untuk memahaminya yaitu, kita terlahir bagai selembar kertas putih. Itulah alasannya aku menulis paragraf ini, dan aku lebih suka menyebutnya sebagai harmoni dalam hidup yang sering aku pertanyakan. 
Aku masih belum tahu benar apa arti dari harmoni itu sendiri akan tetapi aku bisa mengartikannya dengan kata-kata yang aku punyai sendiri tanpa harus ada kewajiban untuk serupa sempurna dengan orang-orang yang terlebih dulu mengartikannya hingga menjadikannya sebuah acuan atau panduan untuk mengartikan harmoni  tersebut. Aku tak pernah khawatir tentang permasalahan itu, malah aku lebih khawatir aku belum bisa menemukan susunan kata yang pas untuk menunjukkan pada orang lain apakah harmoni itu, menurutku. Kenapa menurutku? Dan bukan menurut orang lain? Karena setiap orang memang punya hak untuk berpendapat dan itu tercantum dalam undang-undang dasar. Jadi aku tak pernah merisaukan tentang pandangan egois padaku karena aku hanya menuntut hak tanpa harus menuntut orang lain untuk mengikuti atau sepaham dengan pendapatku.
Kembali pada pengartian harmoni menurutku.
Harmoni adalah sebuah perasaan yang hampir sama pemahamannya dengan kenyamanan namun lebih abstrak dari rasa nyaman itu sendiri. Kenyamanan adalah suatu perasaan yang kita dapatkan dari entah individu lain atau bisa saja dari sekitar kita, sekitar yang luas. Perasaan pas seperti halnya sepasang kaki kita yang akan merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa kita ucapkan dengan kata lain selain nyaman/enak ketika kita berhasil mendapatkan sepasang sepatu yang ukurannya juga pas dengan besar kaki kita. Tanpa ada paksaan dari dalam untuk mengatakan pada diri kita sendiri bahwa kita harus mengingkari kenyamanan itu dengan berkata bahwa sepatu yang kita dapatkan itu terlalu besar atau terlalu kecil. Karena kita telah mendapatkan harmoni yang kita butuhkan (bukan yang kita inginkan) dan segala pemikiran kita tak akan bisa mencoba mengingkarinya untuk menghindarinya, menjauh dari kenyamanan tersebut.
Lantas sebenarnya bagaimana cara mendapatkan keharmonisan itu ?
Manusia terkadang terlalu banyak bertanya sehingga menjadikannya terlalu banyak mengeluh juga. Bagiku bukan merupakan sebuah dosa untuk banyak bertanya akan tetapi kita juga harus bisa membatasi gejolak dalam diri kita ketika diri kita merasa belum puas dengan segala hal yang ada di sekitar kita, jika tidak gejolak itulah yang akhirnya bisa membawa kita menuju suatu tempat yang penuh dengan perasaan mengeluh karena kita tidak bisa mengkondisikan harmoni yang seharusnya sudah kita dapatkan akan tetapi kita malah membiarkannya tumbuh terlalu besar hingga mencapai titik keluhan atau perasaan gemar mengeluh. Jadi peran kita sebagai pengendali atas diri kita itu juga sangat amat penting dan bukan saja berperan dalam membatasi gejolak namun juga sangat berperan dalam hal lainnya juga.
Jadi biarkanlah kertas hidup itu tetap menjadi putih seperti seharusnya.

Dilema Dua Delima

Suatu percakapan kembali terbentuk setelah sempat beberapa saat memutuskan untuk berhenti karena beberapa alasan yang ada. Percakapan ringan sebagai tempat bertemu dengan muka-muka lama yang terasa baru. Ada yang sudah lama tidak bertemu dan ada yang sudah lama memutuskan untuk tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Singkat malam yang menjadi semacam pertemuan yang sengaja diciptakan untuk mencipta tawa dan canda yang berwarna. Betapa sesungguhnya mereka-mereka itu juga kehilangan meski bukan hal besar akan tetapi mereka pernah melewatkan waktu yang tidak sebentar disana, disuatu tempat bernama Delima. Tempat yang ketika waktu itu selalu mencipta suasana baru setiap harinya, ketika riuh ramai dan peluh keringat menandai hari yang cerah serta kekhawatiran yang terjadi di warung Pak Di saat hujan mendadak turun dan mematikannya. Ketika tidak hanya tercipta satu kesenangan disana, ada dua bahkan lebih dari hitungan yang pasti. Ada lebih dari satu pribadi dan individu yang pernah berada di sana, bersama membunuh sore hingga petang. Menjadi sesuatu yang asik meski tidak seperti suatu keluarga tapi setidaknya mereka-mereka pernah ada dan bersama. Kini mereka ingin kembali, meramaikan sepi yang sebelumnya merajai dan juga mengumpulkan tawa agar tercipta bahagia di masing-masing sisi kelam tiap individu. Semoga mereka segera kembali membunuh sore di suatu tempat bernama Delima. 

Kepada mereka : Danny, Jeprok, Samid, Angga, Mas Adek, Wahyu, Namung, Jafa, Wewe, Regy, Reksa, Joshua, Felix, Memet, Ucink, Frisma, Andrew, Pandu, Didi, Icunk, Kelana, Mas Samsul MSS, Mas-mas Ex Delima sing gak tak kenal, Mas-mas Panggung, Mas-mas CL, Mas-mas Velo, Mas-mas Mosk8ow dan bagi siapapun yang pernah, sering dan akan melewatkan waktu sorenya di Delima. 

Minggu, 06 Maret 2011

Orang-orang luar biasa

Sebuah pelajaran tidak selalu hanya bisa kita dapat dari dosen di kampus atau guru di sekolah. Semua manusia yang berpikir bisa memberi kita pelajaran yang kadang berbeda dari yang kita dapatkan di kampus. Kali ini pelajaran itu aku dapat dari seorang tukang pijat ( tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan sebagai tukang pijat, hanya saja sedikit tidak pas jika aku menyebutnya “laki-laki yang sangat ahli dalam menjamah tubuh pasiennya” dan jika seperti itu aku menyebutnya sudah jelas maka akan timbul beberapa pengartian yang berbeda ). Alasanku datang kepada dia karena beberapa hari yang lalu ketika sedang melakukan aktivitas autisku alias bermain skate, kaki kiriku salah posisi ketika mendarat di tanah dan akhirnya bengkak dengan hiasan warna kebiruan setelah berbenturan dengan aspal serta berbunyi cklak!!.
Kembali lagi ke pembahasan tukang pijat ……..
Bukan pertama kalinya aku memijatkan kaki di tempat itu, sudah hampir puluhan kali memang karena tingkahku yang tidak bisa diam hingga kadang-kadang aku menciderai diri sendiri entah tangan, kaki dan bagian tubuh lainnya. Mas Kabul namanya, tapi kalau sedang berhadapan dengannya aku hanya memanggilnya “mas” tidak ada embel-embel Kabul atau semacamnya. Seperti nama ibukota afganistan dan ketika aku berkunjung ke tempatnya akan menjadi lengkap karena ada dua nama yang mempunyai arti mirip dua ibukota di sebuah tempat di timur tengah, Kabul dan tel-Aviv.
Langsung saja masuk ke pelajaran ……
Beliau tidak bisa melihat dunia serta warna warni didalamnya sejak dilahirkan akan tetapi beliau selalu berkata padaku setiap aku berkunjung ke rumahnya bahwa beliau adalah salah satu manusia yang paling beruntung yang pernah dilahirkan. Aku bertanya, kenapa dia bisa merasa seperti itu? Karena aku rasa, tidak adakah ketakutan untung hidup di jagat raya yang luas ini tanpa ada kesempatan untuk mengintip keindahannya. Beliau berkata kepadaku bahwa tidak ada satupun manusia yang tidak beruntung, sudah dilahirkan dan bisa menghirup nafas untuk pertama kali saja itu sudah menjadi hal pertama yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang sangat sangat sangat beruntung. Kemudian beliau menambahkan bahwa tidak bisa melihat dunia bukan berarti kita tidak bisa hidup dengan baik.
Radio yang sejak dari tadi ia nyalakan terus saja memutarkan lagu-lagu lawas yang biasanya dinyanyikan oleh Nat King Cole. Meramaikan rumah yang tidak terlalu besar itu tapi nampak sangat asri dengan enam penghuni di dalamnya, menjadi tujuh ketika ada aku disana.
Omong-omong soal pijat memijat, sebenarnya sampai sekarang aku masih penasaran seperti apakah itu yang namanya pijat plus plus. Tanpa menggunakan kekotoran pikiranku, aku hanya penasaran kenapa namanya plus plus? Apakah semakin banyak kata plus dibelakangnya akan semakin banyak pula fasilitas yang akan didapatkan? Seandainya saja ada tempat pijat yang bernama “Panti pijat plus plus plus plus plus plus plus plus plus plus dan plus lainnya” pasti aku akan membuat rencana untuk pergi kesana dengan syarat metode plus plus yang diberikan diganti dengan berbagai macam makanan mulai dari nastar hingga nasi padang. Jika ada tempat seperti itu pasti aku akan menjadi mahasiswa yang rajin menabung.
Akhirnya setelah berhasil men cklak!! an kembali kakiku yang sebelumnya bengkak proses pijat memijat pun selesai. Pada malam harinya aku menonton Kick Andy di Metro Tv dan lagi-lagi aku menemukan manusia-manusia luar biasa disana.
Jumat/ 05 Maret 2011

Sebuah keluarga

Orang-orang ribut di luar dan aku baru saja membuka mata tepat berada diatas ranjang.Masih pukul tujuh pagi dan aku harus terbangun gara-gara gaduh yang menembus ruang tidurku. Aku masih terlentang dan sedikit menggerutu dalam hati, mengeluh pada diriku sendiri karena terganggu saat tidur memang benar-benar hal yang menyebalkan. Aku mencoba bangun dengan kemudian meraih kacamataku yang aku letakkan diatas beberapa tumpukan buku yang sengaja aku letakkan dekat dengan tempat tidur agar bisa terjangkau oleh tanganku. Membaca buku memang menjadi kebiasaanku sebelum tidur. Semalaman sudah kacamataku berdiri angkuh tepat diatas wajah sitor situmorang yang menempel di sampul buku-nya sendiri yang berjudul Paris-La nuit, sebuah kumpulan puisi dari sitor situmorang yang menampilkan dua bahasa, Indonesia dan Prancis. Aku segera memakai kacamataku, bergegas untuk beranjak dari tempat tidur karena rasa penasaranku akan kegaduhan diluar tak bisa aku tahan. Di luar, sekumpulan orang yang kebanyakan para ibu-ibu yang sedang berbelanja kebutuhan untuk memasak sedang berkerumun mengitari seorang wanita, belum terlalu tua dan sepertinya bukan orang jawa asli karena terlihat dari logat bahasa dan tekstur wajahnya. Dia sedang menggendong anak kecil, sepertinya bayi dari ibu itu yang sedang menangis tanpa henti, sang ibu pun juga sedang menangis sambil tertunduk lesu, duduk di tepi jalan, di atas trotoar kecil. Rupanya ibu itu baru saja mengalami kecelakaan kecil, jatuh terpeleset dengan menggendong bayi di tangannya. Membuat si bayi yang sebelumnya tertidur menjadi terbangun tiba-tiba karena gravitasi bumi menjatuhkan dia dan ibunya. Beberapa orang sempat memberinya minum, mencoba untuk memisahkan bayinya dari gendongan sang ibu tapi sepertinya si bayi tak ingin sedikitpun beranjak dari pelukan sang ibu. Ibu-ibu tua di sebelahku berdiri, lebih tepatnya tetangga depan rumahku bergumam khas ala ibu-ibu jaman sekarang, dia belum pernah melihat ibu dan bayi tersebut di lingkungan rumahku sebelumnya. Aku pun juga ikut bergumam, bertanya-tanya sendiri, aku memang belum pernah melihat ibu dan anak bayinya sebelum hari ini, mungkin mereka baru saja pindahan, pikirku.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang juga tak terlalu tua tiba-tiba datang memecah kerumunan, menjawab segala rasa penasaran orang-orang yang mengerumuni ibu dan bayi itu. Laki-laki itu suami dari sang ibu dan ayah dari si bayi. Aku bisa mengetahuinya karena laki-laki itu membawa sebuah tas berisi botol susu bayi dan beberapa popok yang tampak kusut karena terlipat-lipat didalam tas kecil yang sedang dia bawa. Wajah laki-laki itu tampak gusar, jelas dia khawatir atas apa yang telah menimpa istrinya walaupun dia tak tahu pasti kenapa dan ada apa dengan istri dan anaknya. Mungkin hanya karena ada salah satu dari kerumunan tersebut berbicara terlalu berlebihan dan membesar-besarkan kejadian yang menimpa ibu dan bayi tersebut.
Aku baru tahu, sebuah keluarga kecil yang sedang dikerumuni banyak orang ini adalah keluarga yang baru saja pindah dari luar jawa, berdiam di sebuah rumah kontrakan kecil dan laki-laki itu ternyata adalah seorang penjual koran keliling. Pantas saja aku tak pernah berjumpa dengan mereka sebelumnya, mereka baru beberapa minggu tinggal di kontrakan yang terletak di sebuah gang sempit, arah barat dari rumahku. Setelah sang ibu dan bayi bangkit dan berdiri kembali dari duduknya, mereka bertiga langsung melangkah perlahan, mungkin akan kembali pulang ke kontrakannya. Sang ayah membawa tas punggung yang berisi perlengkapan bayi, tangan kanannya menggandeng tangan sang istri sedang tangan kirinya membawa tumpukan koran dagangannya yang tampak masih belum ada satupun yang terjual, sedang istrinya mengelus rambut si bayi.

Senyum bangga yang sebenarnya

Maaf
Mungkin sedikit berbeda hidupmu
Bergaris berbelok
Tak sama dengan sebayamu
Bukan salah ayah
Kebenaran tuhanlah
Meletakkanmu disana
Di tempat yang tak bisa aku jangkau
Tak juga teman yang duduk didepanku
Aku lihat tak pernah kau mengeluh
selalu tersenyum
Membawa serta dua ember berisi air
Kemudian membersihkan mangkok-mangkok kotor
Ayahmu pasti sangat bangga kepadamu
Andai suatu saat aku seperti itu


- Tanpa mengurangi rasa hormatku kepada seorang anak dan bapak penjual soto di kampusku.Untuk seorang anak laki-laki yang selalu giat membantu orang tuanya.


Ruang kosong

Mari berbicara tentang mengenal diri kita sendiri
Apa yang sudah kita lakukan sampai saat ini? Ketika kita mungkin sudah berumur 17, 18, 19, 20 atau bahkan sudah hampir mencapai kepala tiga. Apakah segala sesuatu yang telah kita lakukan itu adalah suatu perbuatan dimana kita telah mencapai sebuah keselarasan hidup antara emosi dan hati, dengan sesuatu didalam tubuh kita yang benar-benar masih murni bahkan jika nanti kita sudah menjadi tua. Aku percaya bahwa ketika tuhan menciptakan kita, dia selalu menyediakan sebuah ruang kosong tapi tak pernah terisi oleh apapun didalam tubuh kita. Ruang kosong yang kadang menjadi tempat bagi kita untuk berkaca seperti apa diri kita sendiri, yang bagi sebagian orang masih terasa sulit untuk benar-benar mengenalnya walaupun sudah lebih dari dua dasawarsa menjalani hidup bersama. Ruang kosong yang tidak akan pernah terisi oleh apapun entah itu kesedihan, kebahagiaan, penyesalan dan ketakutan.
Relasi apa yang bisa kita dapat antara ruang kosong dan apa yang sudah kita lakukan ?
Segala sesuatu yang kita lakukan entah hal kecil atau hal besar pasti membutuhkan beberapa pertimbangan, akan muncul suatu perdebatan sebelum kita melangkah karena itu merupakan sisi manusiawi manusia. Manusia itu berpikir dan berperasaan jadi segala sesuatu pasti ingin dilakukan tanpa harus menemui sebuah kesalahan dan berakhir dengan kebenaran mutlak. Sebenarnya, perdebatan yang selalu kita alami dengan diri kita yang lain terjadi di ruang kosong yang telah aku sebutkan tadi. Tempat dimana tidak ada keberpihakan dan benar benar tempat yang netral hingga kita bisa menemui diri kita yang positif dengan diri kita yang negatif disana. Sampai nanti menghasilkan sebuah keputusan yang lurus tanpa terbelokkan. Dan juga di ruang kosong itulah kita bisa mengetahui seperti apakah diri kita sendiri. Ruang kosong itu adalah tempat yang netral yang ketika sisi positif dan negatif bertemu disana, akan muncul lagi sisi ketiga kita yaitu sisi netral kita yang bisa melihat bagaimanakah sebenarnya diri kita sendiri yang diwakili oleh si positif dan negatif. Berhadapan dengan situasi seperti inilah lama kelamaan kita akhirnya bisa berhasil mengenal diri kita sendiri.
Maka seperti itulah pandanganku tentang sebagian dari diri manusia yang kadang terlalu remeh untuk diperhatikan atau juga terlalu rumit untuk dirumuskan. Menurutku tidak ada satupun individu diluar diri kita yang bisa menemukan jatidiri manusiawi kita selain diri kita sendiri, orang lain hanya bisa membantu kita dengan mengarahkan dan menunjukkan jalan dan segala keputusan masih mutlak milik kita sendiri sebagai manusia yang merdeka.
Minggu, 06 Maret 2011

Rabu, 05 Januari 2011

Pertunjukan Malam

      Akhirnya,sampai juga aku kesana.Sangat antusias,gembira dan tak mampu menjelaskan perasaan apa itu sebenarnya.Bukan karena hiruk pikuk orang-orang,kegembiraan lain dari anak-anak kecil yang berlarian,merengek meminta dibelikan mainan,acuh,terlalu riang dengan mainannya dan sebagainya.Tak juga tentang beberapa wajah tua yang masih saja bergantung hidup pada keramaian.Perasaan yang sama ketika dulu aku sering mengunjunginya,bersama ayah dan ibu.Kalau saja aku dapat menjelaskannya,mataku berbinar melihat deretan lampu terang itu berputar menuju separuh angkasa dan kembali turun menyentuh bumi.Kembali untuk membawa senyum dan ketakutan.Menjadi penguasa angkasa meski sesaat.Masih saja aku bergetar,melihat seluruh keramaian dari atas sana.Aku merasakannya,masih ada sebagian diriku ketika 10 tahun lalu di malam itu.Tempat yang sebenarnya indah,tapi tak lagi bisa kutemukan di kota.